IPOL.ID – Presiden Jokowi mengatakan Indonesia berpotensi untuk masuk dalam kelompok lima besar ekonomi dunia pada peringatan 100 tahun kemerdekaannya pada tahun 2045.
“Untuk membawa kapal besar bangsa Indonesia menggapai cita-cita Indonesia emas 2045 menjadi lima besar ekonomi dunia, peluangnya ada. Hitung-hitungannya saya sudah dengar semuanya dari Bappenas, dari Mckanzie, IMF, dan World Bank juga saya sudah dengan hitung-hitungannya hampir mirip,” ungkap Jokowi dalam acara peluncuran Rencana Pemerintah Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Indonesia Emas 2045, di Djakarta Theater, Jakarta, Kamis (15/6) dikutip VOA Indonesia.
Meski bukan hal yang mudah, Jokowi yakin pada tahun 2045 pendapatan per kapita Indonesia akan melompat dari USD5.030 per tahun di 2023 menjadi USD23.000 hingga USD30.300 per tahun atau sekitar Rp340 juta hinggaRp444 juta per tahun.
Ia juga percaya tingkat kemiskinan yang saat ini berada pada level 9,57 persen dapat turun hingga berada dalam kisaran 0,5 hingga 0,8 persen.
Untuk mewujudkan itu, kata Jokowi, perlu visi, misi serta strategi yang taktis dan kemampuan yang baik dalam mengeksekusinya. Ia sendiri menyebutkan tiga hal penting yang harus dilakukan untuk menggapai mimpi tersebut. Pertama, adalah menciptakan stabilitas, karena jika negara sedang berkonflik, maka kemakmuran tidak tercapai.
Kedua, katanya, memaksimalkan hilirisasi industri, serta melakukan pemerataan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Menurutnya, ini salah satunya dapat direalisasikan dengan memindahkan ibu kota negara ke Ibu Kota Nusantara (IKN), di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
“Pembangunan Indonesia sentris, ini penting, hilirisasi industri sangat penting inilah nanti yang akan melompatkan kita. Kalau hilirisasi ini berhasil, kita akan melompat (menjadi negara maju). Misalnya urusan hilirisasi mineral, membangun ekosistem EV baterai, bagaimana yang dulu kita nikel ekspor hanya mentahan bisa jadi perkusor, bisa jadi lithium baterai,” jelasnya.
Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Terkait SDM, Jokowi menekankan Indonesia juga harus bisa memanfaatkan bonus demografi Indonesia yang akan terjadi pada tahun 2030 mendatang di mana sebanyak 68,3 persen dari total penduduk Indonesia masuk usia produktif.
“Indonesia emas tidak bisa hadir otomatis, tapi sekali lagi butuh direncanakan dengan baik, butuh fokus yang sama, butuh panduan, butuh haluan. Sehingga saya harap RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, red) yang diluncurkan ini dapat menjadi pedoman kita bersama. Apa sih pedoman kita? Ada di situ,” tuturnya.
“Terlepas dari itu semua, bagaimana pun baiknya sebuah perencanaan, akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kemampuan eksekusi yang baik, tidak ada artinya. Oleh sebab itu untuk mencapai Indonesia emas 2045, harus ada smart execution. Dan dibutuhkan smart leadership oleh strong leadership yang berani dan pandai mencari solusi, dan yang punya nyali.” tegasnya.
Seberapa Besar Peluang Indonesia Menjadi Negara Maju?
Senada dengan Jokowi, Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengungkapkan tidak mudah bagi Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045 mendatang. Berdasarkan hitungan dari Bappenas misalnya, jika ingin menjadi negara maju pada tahun itu, pertumbuhan perekonomian tanah air harus mencapai enam bahkan tujuh persen mulai tahun 2025.
“Bisa (menjadi negara maju) tapi dengan esktra kerja keras dan konsistensinya betul-betul dilakukan karena ini target jangka panjang. Konsisten harus dilakukan selama 20 tahun. Untuk mencapai enam persen itu pertumbuhan rata-rata, bukan di 2045 nya yang mencapai enam persen, tapi dari 2025 harus sudah enam persen rata-rata sampai 2045 selama 20 tahun. Berarti harus ada kerja ekstra keras, bukan bussiness as usual yang harus dilakukan,” ungkap Faisal.
Memang hilirisasi industri, kata Faisal, menjadi faktor penting untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara maju. Namun, seiring dengan dilakukannya hilirisasi industri tersebut Indonesia juga harus menghadapi tuntutan dari negara lain yang terdampak dari kebijakan tersebut, salah satunya gugatan Uni Eropa di WTO terkait pelarangan ekspor nikel mentah.
“Ini berarti harus ada penyiapan dari berbagai macam aspek, misal dari diplomasi perdagangan kita yang harus diback up dengan riset dan data yang memperkuat posisi kita dalam berargumentasi di level internasional,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga harus siap menghadapi dampak volatilitas perekonomian global dengan berbagai bauran kebijakan.
“Sebagai contoh, sekarang saja pertumbuhan ekonomi (Indonesia) yang diperkirakan oleh IMF adalah 4,9 persen. Ternyata perkiraan itu bukan hanya untuk tahun ini saja, tapi IMF juga memperkirakan tahun depan, tetap 4,9 persen, padahal yang disasar adalah enam persen secara konsisten setiap tahun selama 20 tahun,” tambahnya.
Penguatan sektor pengungkit lainnya juga bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong hilirisasi industri yang kini sedang getol dilakukan oleh pemerintah. Jika, seluruh sektor tidak mendukung satu sama lain, maka tantangan ke depan untuk menjadi sebuah negara maju akan semakin sulit.
“Untuk mencapai (target) di tahun 2045 ada tahapannya, yakni per lima tahun, 2025 ke 2030, ke 2035 ini seperti apa? Yang jelas kans terbesar itu sebelum di 2035, kenapa? Karena bonus demografi Indonesia berakhir setelah 2035. Artinya hanya di masa bonus demografi kita bisa mengharapkan pertumbuhan ekonomi mengalami akselerasi. Setelah itu susah, cenderung melambat dan itu sudah terjadi di negara-negara lain yang lebih dulu kehabisan bonus demografi, seperti Jepang, China, Thailand. Itu sudah melambat sekarang dan susah untuk tumbuh lebih tinggi,” pungkasnya. (VOA Indonesia/far)