“Saya harus melihat gerakan bibir anaknya dan saya tidak boleh terbawa perasaan (baper). Saya juga memberikan pengertian kepada anak bahwa saya menggunakan alat bantu dengar,” jelasnya.
Kemudian untuk pendidikan anak, dia menyerahkannya kepada guru saat di sekolah. Gurunya pun mengerti jadi perlunya kepercayaan kepada suport system.
Nah, sama menariknya dengan buku ke-4 itu, lanjut Angkie, lebih kepada orang tua dia bagaimana mendidik anak berkebutuhan khusus.
Menurutnya, buku itu membuktikan bahwa dia berhasil untuk mandiri dan ingin menunjukkan kepada orang tuanya jika dia berhasil.
Namun demikian, masih banyak pekerjaan rumah (PR) ke depan, rancangan hidup disabilitas dari hulu ke hilir. Saat ini tahap menyelesaikan menuju Indonesia pada inklusinya, masih tahap awalnya masih hilir sekali, dimulai dari pendataan, krusial pendidikan, perekonomian, dan pekerjaan.
“Kalau tidak kerja mau melakukan apa. Tiga prioritas ini saja perlu effort/upaya yang luar biasa. Membangun ekosistem yang tidak mudah, tidak bisa kerja sendirian,” tukasnya.