“Dalam konteks otonomi asimetris itu, mungkin yang perlu digagas adalah pengaturannya. Pengaturan tentang kewenangannya itu bahwa undang-undang otonomi daerah secara umum mengatur, kemudian secara detail diatur di dalam undang-undang pembentukan daerah yang bersangkutan,” ungkapnya.
Sementara itu, Dosen STPMD-APMD Sutoro Eko Yunanto mengungkapkan, menyinggung perbedaan daerah yang beragam di Indonesia, berbagai macam ilmu yang membentuk pemerintahan, negara, kebijakan, dan sebagainya belumlah Indonesiasentris. Dirinya mengkritik pembentukannya masih bersifat Jawasentris dan lebih parah lagi Jakartasentris.
“Ini namanya kolonialisme juga, jadi kita ini dijebak. Mau ngomong pertanian pun juga begitu, mau ngomong di Kalimantan Utara tentang petani, kelompok tani, ‘Aduh ini caranya orang Jawa dipakai di sini’, janganlah, gitu ya. Itu banyak sekali nanti. Kita mau ngomong kemakmuran, kesejahteraan, tapi ilmunya ilmu Jawa, ilmu Jakarta,” tegasnya.
Dia melanjutkan, termasuk desentralisasi dan otonomi daerah yang dibicarakan dalam diskusi ini mengalami kolonisasi. Masih memakai cara pandang Jakarta, sehingga belumlah Indonesasentris dan belum memperkuat daerah. Hal itu menciptakan adanya ketidakadilan di berbagai daerah. “MIPI ini penting, Pak Ketua mendorong kita untuk kita harus bongkar semua itu,” tandasnya.(Redaksi)