IPOL.ID – Sipa tak kenal kedai kopi Starbucks? Kedai ini disimbolkan sebagai tempat bersosialisasi masyarakat perkotaan yang sudah maju. Di sisi lain terdapat sejumlah tantangan ekonomi dan sejarah panjang pertanian kopi di seluruh dunia yang butuh perhatian.
Demikian garis besar yang coba diangkat forum diskusi budaya membahas buku tertajuk “Paradoks Starbucks : Petani Kopi, Globalisasi Ekonomi, dan Perdagangan Adil.” Diskusi diusung Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB), dan Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) di Jakarta secara daring baru-baru ini.
Kepala PRMB, Lilis Mulyani dalam pembukaan, mengungkapkan tujuan forum untuk bertukar gagasan hasil riset maupun publikasi terbaru dengan para peneliti BRIN maupun mitra baik akademisi serta masyarakat luas. “Hasil penelitian BRIN perlu disampaikan kepada masyarakat! Ini salah satu cara mengembangkan budaya literasi ilmiah di kalangan masyarakat,” ungkap Lilis dilansir dari laman brin.go.id.
Penulis buku Paradoks Sturbucks, Saomi Rizqiyanto dari Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sulawesi Barat menjelaskan bahwa berbicara tentang sejarah kopi di Indonesia tahun 1696, awalnya warga Belanda membawa kopi dari daerah Malabar, India, untuk dibudidayakan di Pulau Jawa. Tepatnya di Kedawung, sebuah perkebunan Batavia yang sebagai titik awal kopi Indonesia. Meskipun upaya tersebut gagal akibat banjir dan juga gempa bumi yang membuat tanaman rusak.
Tiga tahun kemudian, Belanda kembali mendatangkan stek pohon kopi dari daerah Malabar (1699). Usaha kedua, nampaknya membuahkan hasil. Hal itu karena pada 1706 sampel kopi dari Pulau Jawa dikirim ke Belanda untuk kemudian diteliti di Kebun Raya Amsterdam. Hasilnya sukses besar, biji kopi yang dihasilkan mempunyai kualitas sangat bagus. Tanaman kopi ini kemudian menjadi bibit untuk semua perkebunan budidaya kopi di Indonesia.
Belanda kemudian memperluas wilayah budidaya ke Bali, Sumatera, Timor, Sulawesi, dan pulau-pulau lain di Indonesia. Adapun jenis kopinya yaitu Arabika dan Robusta, Typica, Bourbon, Caturra, Catuai, Mundo Novo, Blue Mountain.
Membahas sekilas judul, lanjut Saomi, paradoks adalah pernyataan yang seolah – olah bertentangan, berlawanan dengan pendapat umum atau kebenaran. Akan tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Sedangkan starbucks adalah sebuah kedai kopi yang pertama kali didirikan di Seattle, USA. Starbucks Coffe dikenal sebagai tempat bersantai dan tempat untuk bersosialisasi bagi masyarakat urban Amerika Serikat.
Dijelaskan Saomi, kopi dilihat secara umum hakikatnya adalah minuman yang menjadi pilihan di kala waktu santai dan berkumpul bersama orang-orang terdekat. Pada era milenial, seperti sekarang, kopi hadir dengan berbagai macam varian yang membuatnya mampu menarik minat anak-anak muda. Selain nikmat, ternyata ada banyak filosofi kopi yang relevan dengan berbagai aspek kehidupan sehari-hari. “Secangkir kopi bukan sekadar minuman, akan tetapi mengandung banyak hal yang bisa diambil. Hal itu mulai dari teknik pengolahan, pemilihan biji kopi, sampai rasa,” ucapnya.
Saomi mengatakan bahwa sebenarnya tema buku tersebut adalah perdagangan kopi namun tidak menyinggung sisi ekonomi namun soal gaya. Budaya / gaya dilihat dari tempat dan lingkungan, contohnya budaya dan gaya urban yang lebih cenderung dilihat dari pola hidup fesyen komunitas. Bagi penikmat kopi lebih dalam penyajian nyaman biasanya disebut Starbuck. Artinya, identintas lingkungan/ suatu tempat perkotaan dikatakan maju atau tidak bisa dilihat salah satunya tentang keberadaan Starbucks. Starbucks menyimbolkan lingkungannya yang maju.
Starbuck as a Sign, sebagai tanda petani, globalisasi ekonomi, dan perdagangan adil. Saomi menjelaskan buku tersebut mengupas tentang kehadiran Starbucks langganan kapitalis global dan simbol dari globalisasi ekonomi yang secara artificial diterjemahkan sebagai simbol dari kemajuan kota negara.
The Battle of Seattle, menjadi paradoks ketika imaji tentang kemajuan dan kemakmuran ternyata berbanding terbalik dengan realita yang ada. “Buku ini memandang dari beberapa kasus tentang adanya demonstrasi menentang starbuck (the Battle of Seattle), demonstrasi karyawan menuntut kenaikan upah, dan beberapa kasus tentang karyawan starbucks yang bekerja overtime dan underpaid,” ujarnya.
Ia juga menyatakan, terkait paradoks atau mungkin hipokrisis starbuck yang sangat kentara ketika berbicara tentang janji-janji manis. Dalam buku tersebut diangkat tentang fairtrade (perdagangan yang adil). Hal itu membawa konsep etically source biji kopi yang dipakai starbucks. Namun, ternyata banyak petani kopi di negara asal kopi itu berada, tidak mengenal apa itu starbuck dan bahkan fairtrade.
Sementara Nasir Badu berkomentar, isi dan penalaran informasi dalam paradoks starbucks sesuai dengan zaman saat ini di era globalisasi. “Diharapkan bagi para peneliti, dapat mengembangkannya di bagian pengantar. Namun juga masih banyak model yang dikembangkan, sehingga ke depan dapat dimanfaatkan bagi para petani dan juga konsumen. Maka akan tercapai suatu keseimbangan antara produsen dengan perantara,” ujar Nasir.
Dalam forum tersebut juga sebagai pembahas, Muhammad Nasir Badu dari Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar. Diskusi dipandu moderator Ari Nurlia Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional. (tim)