IPOL.ID – Kongres Kebudayaan dan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) kembali digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) secara berbarengan pada tahun 2023.
Tema yang diusung tahun ini yaitu ‘Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan’ yang bermaksud untuk memberikan makna dan relevansi dalam setiap aksi berkesenian dan berkebudayaan yang dilakukan yang tetap berakar pada nilai-nilai budaya serta kearifan lokal.
Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjenbud) Kemendikbudristek, Hilmar Farid, mengatakan bahwa tema tahu ini semakin relevan terkait urgensi perhatian masyarakat terhadap keselamatan bumi.
“Apa kontribusi kebudayaan bagi persoalan itu? Ini bukan hanya persoalan seniman bicara bagi lingkungan, tapi kita ingin menggali sumber daya yang digunakan oleh masyarakat dalam bentuk pengetahuan lokal, ekspresi budaya dan itulah yang ingin kita gali dengan menggunakan konsep lumbung, sehingga bisa dikumpulkan dan diakses oleh masyarakat banyak,” ujarnya dalam webinar Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB), Kamis (12/10).
Sebelumnya, Hilmar menjelaskan bahwa Kongres Kebudayaan merupakan kegiatan lima tahunan, sedangkan Pekan Kebudayaan Nasional digelar setiap dua tahun sekali.
“Rangkaian dari pekan kebudayaan ini sudah dimulai sejak Juli,” kata Hilmar.
Pekan Kebudayaan Nasional, lanjutnya, adalah sebuah platform aksi kebudayaan.
“Momen pentingnya akan dilaksanakan pada 20-29 Oktober. Hasilnya yaitu menghadirkan hasil proses dari bulan Juli di 40 titik di seluruh Jakarta,” ujarnya.
Sementara itu, Kongres Kebudayaan akan banyak mengevaluasi pelaksanakan kebijakan dari bidang kebudayaan selama lima tahun, seperti capaian dan hambatan dalam kurun waktu tersebut.
“Kongres Kebudayaan tahun 2023 akan merumuskan dokumen rencana induk kemajuan kebudayaan yang diatur dalam undang-undang, sebagaimana pada Kongres Kebudayaan 2018 yang telah menghasilkan dokumen strategi kebudayaan yang sudah menjadi Peraturan Presiden,” tutur Dirjenbud.
Dewan Kurator Pekan Kebudayaan Nasional, Ibe Karyanto, menjelaskan bahwa Pekan Kebudayaan Nasional kali ini mengangkat konsep lumbung sebagai langkah kerja dalam kegiatannya. Pendekatan lumbung digunakan sebagai simbol kekuatan kolektif, maka dari itu tugas dewan kurator bukan menyeleksi tapi menjaga nilai-nilai yang ada dalam lumbung tersebut.
“Ada banyak nilai di dalam konsep lumbung seperti kolaborasi, saling berbagi, hemat, ramah pada lingkungan, dan kegembiraan. Kemudian, tugas dewan kurator membangun jejaring karena persoalan kebduayaan bukan perkara individu, ini harus menjadi milik bersama,” jelas Ibe.
Selain itu, kurator juga bertugas untuk mengidentifikasi kegiatan yang selama ini telah dihidupkan oleh masyarakat serta sejalan dengan nilai-nilai lumbung.
“Maka dari itu Pekan Kebudayaan ini bukan hanya mengangkat atau memamerkan budaya ke Jakarta,” kata Ibe.
Narasumber lain, Nursalim Yadi, seorang pelaku budaya, mengatakan bahwa pelaku budaya pada dasarnya sangat sering memproduksi pengetahuan, tetapi jarang mendapatkan tempat di dalam masyarakat utama.
Namun, kerja-kerja bersama seperti platform yang terjalin dalam kegiatan Pekan Kebudayaan Nasional dapat menjadikan sesuatu dapat terhubung dan menjalin solidaritas antara pelaku budaya menjadi sebuah aksi nyata.
“Saya pikir PKN menjadi sebuah platform untuk menjaring berbagai gagasan dari seniman agar memiliki kontribusi,” tambahnya.
Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Lampung, Heni Astuti, menyampaikan bahwa provinsinya akan mengikuti seluruh rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional setelah melakukan lokakarya dan kurasi.
Sebelum mengikuti PKN, Provinsi Lampung telah melaksanakan Pekan Kebudayaan Daerah dan bekerja sama dengan Dewan Kebudayaan yang ada di Lampung dan berbagai masyarakat, pelaku seni yang bergerak di wilayah kebudayaan.
“Pemerintah Provinsi Lampung pun konsentrasi menyediakan dan menyiapkan ruang bagi pelaku budaya misalnya seperti menyediakan pusat kesenian seni dan budaya, ada kantor dewan kesenian, pasar seni, teater terbuka dan teater tertutup semuanya disediakan pemerintah tanpa dipungut biaya agar dapat diberdayakan oleh masyarakat,” dijelaskan Heni Astuti.
“Itulah hal yang dapat menjaga inklusi budaya bagi semua masyarakat melalui dukungan dari pemerintah, imbuhnya.
Bangun Semangat Kolaborasi
Melalui Pekan Kebudayaan Nasional dan Kongres Kebudayaan, Dirjenbud berharap penyelenggaraan Pekan Kebudayaan Nasional dan Kongres Kebudayaan dapat meningkatkan semangat pertukaran.
“Bukan kompetisi, tetapi kolaborasi. Kita ingin mendapatkan sebanyak mungkin hal-hal baik yang ada dalam praktik kebudayaan kita, dan yang penting bukan soal jumlah tapi kualitas dalam proses,” katanya.
Dari data dihimpun Kemendikbudristek, kurang lebih ada sekitar 700 seniman 600 komunitas, lebih dari 1.000 pelaku budaya, dan ada 223 titik residensi yang ikut dalam proses Pekan Kebudayaan Nasional.
“Pekan Kebudayaan Nasional tidak hanya mengangkat atau memamerkan budaya ke Jakarta. Tidak ada pemilihan bersifat kompetisi karena berlawanan dengan nilai lumbung, yaitu kolaborasi. Yang hadir dalam kegiatan ini yaitu kolektivitas pelaku seni budaya,” ujar Ibe Karyanto.
Maka, mereka yang terlibat dalam Pekan Kebudayaan Nasional tidak hanya menghidupi kegiatan-kegiatan budaya, tetapi pelaku budaya yang berani melakukan pengembangan sesuatu yang telah ada terutama dalam konteks kekinian.
“Jadi, yang dipamerkan nanti di Jakarta merupakan sebuah upaya dari pelaku seni dan budaya dalam upaya pengembangan,” imbuhnya.
Penyelenggaraan Pekan Kebudayaan Nasional dan Kongres Kebudayaan diharapkan dapat meningkatkan Indeks Pembangunan Kebudayaan. Sebagaimana hasil riset Kemendikbudristek, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi dimensi ekonomi budaya dalam indeks tersebut ada korelasi dengan penurunan tingkat kemiskinan.
Kemudian, semakin tinggi dimensi ketahanan sosial budaya dalam indeks tersebut ada korelasi dengan semakin tingginya kerukunan umat beragama.
“Hasil riset ini selengkapnya akan disampaikan pada saat Kongres Kebudayaan,” ungkap Dirjenbud.
“Harapannya melalui proses yang cukup panjang seniman yang terlibat dapat menarik manfaatnya banyak. Serta masyarakat luas dapat ikut mengapresiasi kegiatan ini,” pungkas Hilmar Farid. (far)