IPOL.ID – Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor membuat para produsen tahu dan tempe setiap tahunnya harus menanggung kenaikan harga yang tidak terkendali. Berbanding terbalik dengan harapan produen tahu menginginkan harga stabil.
Mereka terpaksa membeli kedelai impor yang harganya selalu naik mengikuti nilai tukar rupiah terhadap dolar agar tetap mempertahankan usaha produksi tahu dan tempe.
Di tengah kenaikan harga kedelai impor dari Rp11 ribu menjadi Rp13 ribu per kilogram yang sekarang terjadi, para produsen terpaksa memperkecil ukuran produksi tahu dan tempe.
Mereka terpaksa tetap membeli kedelai impor dari Amerika karena suplai kedelai lokal di pasaran tidak sebanding dengan kebutuhan produksi produsen tahu dan tempe nasional.
Produsen tahu di Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, Dindin Badrudin, 63, mengatakan, minimnya stok kedelai lokal di pasaran ini bahkan sudah terjadi sejak beberapa tahun silam.
“Sebenarnya kalau secara kualitas kedelai lokal jauh lebih bagus dibanding impor. Tapi kedelai lokal kayaknya enggak ada lagi (di pasaran),” ungkap Dindin dikonfirmasi di Jakarta, Minggu (11/11).
Dia mencontohkan, pada era pemerintahan orde baru saat kedelai lokal masih membanjiri pasaran tidak ada produsen tahu yang membeli kedelai impor karena kualitasnya lebih buruk.
Menurutnya, kedelai lokal merupakan primadona di kalangan produsen karena membuat rasa tahu lebih nikmat, beda dengan rasa bila produksi menggunakan kedelai impor.
“Dulu kedelai impor itu kalah (di pasaran), kedelainya jelek. Kedelai lokal hasilnya jauh lebih enak. Apalagi yang namanya kedelai dari Sumbawa, itu ibaratnya (kualitas) nomor satu,” terangnya.
Dindin menjelaskan, saat era orde baru ada banyak daerah penghasil kedelai lokal, di antaranya Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Lampung sehingga stok kedelai membanjiri pasaran.
Harga kedelai lokal di pasaran pun lebih stabil, tidak naik dalam hitungan minggu karena pengaruh nilai tukar rupiah sebagaimana yang terjadi pada kedelai impor sekarang.
“Dulu itu (daerah penghasil kedelai) ada banyak. Dari Cianjur, Garut, Banyuwangi, Jember, Lampung, Sumbawa itu ada kedelai. Sekarang mana, enggak ada lagi. Bahkan sekarang diidamkan para produsen tahu,” jelasnya.
Selain rasa, kedelai lokal dahulu menjadi primadona karena dari segi ketahanan saat proses produksi tahu pun lebih mampu bertahan lama dibandingkan kedelai impor.
Dindin menambahkan, kedelai lokal mampu bertahan dalam jangka waktu empat hari, sementara kedelai impor lebih hanya mampu bertahan maksimal dua hari lalu berakhir busuk.
“Karena petani kedelai lokal menggunakan bahan-bahan alami (saat bercocok tanam). Beda dengan kedelai impor yang pakai bahan kimia untuk bisa panen cepat, itu bedanya,” katanya.
Dindin mengatakan, sepatutnya pemerintah dapat membantu petani kedelai lokal sehingga Indonesia tidak perlu bergantung dengan stok kedelai impor seperti sekarang.
Dia pun optimistis bila pemerintah memberikan bantuan kepada para petani stok kedelai lokal dapat kembali melonjak dan dapat memenuhi kebutuhan produsen tahu dan tempe di pasaran.
“Kita kan punya Presiden, punya Menteri Pertanian. Masa iya enggak bisa seperti dulu membantu petani kedelai lokal, biar kita enggak tergantung sama kedelai impor lagi, setidaknya Menteri Pertanian kita memihak pada kami,” tukas Dindin. (Joesvicar Iqbal)