IPOL.ID – Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyoal alat bukti yang digunakan penyidik Polda Metro Jaya untuk menetapkan Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri sebaga tersangka kasus dugaan pemerasan dalam jabatan.
Menurutnya, alat bukti yang digunakan untuk menjerat Firli Bahuri tersangka kasus dugaan pemerasan itu tidak seusai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 dan Pasal 184 Kitab Undangg-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Yusril menerangkan bahwa penetapan tersangka terhadap Firli Bahuri hanya didasarkan pada keterangan 91 saksi dan tidak didukung keterangan saksi lain atau alat bukti surat yang sah serta dapat membuktikan kebenaran fakta terjadinya suatu tindak pidana, maka berlaku asas Unus Testis Nullus Testis.
“Sehingga alat bukti keterangan saksi yang berdiri secara tunggal yang berbentuk pengakuan secara sepihak dari satu orang saja tanpa didukung dengan alat bukti keterangan saksi lainya dan/atau alat bukti surat yang sah lainnya (Pasal 184 KUHAP), maka keterangan saksi tunggal tersebut tidak dapat dinilai dan dijadikan sebagai alat bukti keterangan saksi sebagaimana yang dimaksud dalam Putusan MK 21 tahun 2014,” kata Yusril dalam keterangannya dikutip Senin (18/12).
Dia menyebut, 91 kesaksian orang yang telah diperiksa tetap dihitung sebagai satu alat bukti, yaitu keterangan saksi. Sementara, mereka tidak ada satu pun yang melihat, mendengar, dan mengalami secara langsung tindak pidana yang terjadi, sehingga alat bukti itu pun menjadi tidak sah secara hukum.
Dari situ, jika benar penetapan tersangka terhadap Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri hanya didasarkan satu alat bukti yakni keterangan saksi tunggal, maka dengan sendirinya status hukum tersebut tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Karena tidak sesuai dengan ketentuan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang telah berubah atau berlaku setelah adanya Putusan MK tersebut,” urainya.
Sementara itu, terkait keterangan delapan orang ahli yang dijadikan alat bukti, kata Yusril, dalam proses penyelidikan dan penyidikan haruslah dinilai serta digunakan secara hati-hati oleh penegak hukum.
“Keterangan yang dikemukakan oleh ahli pada tahapan proses penyelidikan dan penyidikan hanyalah didasarkan pada hal-hal yang masih bersifat abstrak dan hipotetik, sehingga ahli berfikir dalam konteks speculative thinking, bukan mengungkapkan pikirannya dengan keyakinan yang bersifat positive-conclusive yang didasarkan atas fakta-fakta atau alat bukti lain yang terungkap di dalam persidangan,” ujarnya.
Jika keterangan ahli digunakan oleh penyidik sebagai alat bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan, maka Hakim Praperadilan berkewajiban untuk menilai fakta-fakta yang terungkap di persidangan, demi memastikan status tersangka yang disematkan itu sesuai atas pertimbangan hukum yang kokoh.
“Maka Hakim Praperadilan berkewajiban untuk menilai keterangan ahli itu dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi, karena keterangan itu mengandung sifat speculative-thinking yang mungkin berguna pada tataran filsafat, lebih-lebih dalam metafisika, tetapi tidak banyak manfaatnya dalam konteks penerapan hukum yang konkret, yang memerlukan tingkat kepastian yang tinggi,” papar dia.
Sama halnya dengan alat bukti surat berupa foto atau potret yang digunakan, Yusril menilai hal itu tidak dapat dijadikan alat bukti surat berdasarkan Pasal 184 KUHAP.
“Potret atau foto itu tidak menerangkan apa-apa kecuali menunjukkan dua orang yang sedang duduk yang dikenal sebagai Firli dan SYL. Hanya dapat sebagai alat bukti petunjuk, alat bukti seperti itu baru bisa ditampilkan dengan dihubungkan dengan alat-alat bukti yang lain yang terungkap dalam persidangan,” katanya.
Dalam tahap penyelidikan alat bukti berupa potret atau foto tidak menerangkan apa-apa untuk dijadikan sebagai alat bukti. Sementara terkait dokumen surat anonim tertanggal 1 Oktober 2023 berjudul ‘Kronologi’ yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pembuat dan pengirimnya, serta harus diuji kebenaran isi informasinya, maka surat tersebut semestinya tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti.
“Karena bisa saja surat tersebut merupakan surat yang ditujukan untuk memfitnah, karena surat tersebut tidak dapat membuktikan fakta kebenaran telah terjadinya suatu perbuatan/tindak pidana sesuai Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B UU Tipikor yang seolah-olah dilakukan oleh Firli,” pungkasnya. (far)