IPOL.ID — Awal pekan ini Gunung Semeru di Jawa Timur kembali erupsi. Pada Senin (19/02/2024), misalnya, Semeru tercatat tiga kali batuk-batuk dengan dengan ketinggian muntahan abu vulkanik mencapai 800 hingga 1000 meter.
Nah, menurut para pakar, erupsi dari banyak gunung berapi di dunia menyumbang kenaikan suhu di permukaan bumi. Hal ini tentu berakibat pada krisis iklim. Lantas mengapa gunung api tersebut bisa aktif dan meletus, dan bagaimana penjelasaanya terhadap pemanasan global?
Dilansir dari climate.nasa.gov, letusan gunung berapi melepaskan CO2 dan gas lainnya ke atmosfer bumi. Letusan gunung api dapat menyebabkan terjadi pemanasan global (global warming). Hal ini disebabkan karena pada saat gunung api meletus, tidak hanya abu vulkanik yang dikeluarkan, tetapi juga kadang-kadang mengeluarkan gas. Ada dua yang tipe gas yang secara signifikan dikeluarkan gunung api, yaitu gas CO2 dan SO2.
Namun, dampak aktivitas manusia terhadap siklus karbon jauh melebihi dampak gabungan seluruh gunung berapi di dunia, yaitu lebih dari 100 kali lipat.
Sebagai gambaran, meskipun letusan gunung berapi berkontribusi pada peningkatan CO2 di atmosfer, aktivitas manusia melepaskan sejumlah CO2 yang setara dengan letusan Gunung St. Helens yang dihasilkan setiap 2,5 jam dan letusan Gunung Pinatubo dua kali sehari.
Letusan paling signifikan berasal dari gunung berapi super seperti Yellowstone atau Gunung Toba, yang sangat jarang meletus, sekitar setiap 100 hingga 200ribu ittahun atau lebih. Namun, total emisi CO2 tahunan dari aktivitas manusia setara dengan satu atau lebih letusan super sebesar Yellowstone yang terjadi setiap tahunnya. Intinya, emisi CO2 dari aktivitas manusia jauh melebihi emisi dari gunung berapi.
Para ilmuwan iklim menyebutkan letusan gunung berapi untuk membantu kita memahami dan menjelaskan periode pendinginan singkat dalam sejarah bumi. Kira-kira setiap beberapa dekade, letusan gunung berapi, seperti Gunung Pinatubo atau El Chichón, melepaskan sejumlah besar partikel dan gas. Beberapa partikel dan gas ini untuk sementara menghalangi sinar matahari sehingga menyebabkan periode pendinginan global yang singkat. Meskipun dampak ini biasanya hilang setelah 1 hingga 2 tahun, dampaknya akan terasa di seluruh dunia.
Sebagai perbandingan, pemanasan yang disebabkan oleh gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil, akan bertahan selama ribuan tahun.
Hal senada juga dipaparkan vulkanolog Mirzam Abdurrachman, dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB. Ia mengungkapkan terdapat tiga faktor utama mengapa gunung api bisa meletus, yaitu pertama karena kondisi di bawah dapur magma, kedua kondisi di dalam dapur magma, dan ketiga kondisi di atas dapur magma atau permukaan gunung.
“Jadi pada prinsipnya gunung api meletus itu terjadi karena ada ketidakstabilan di dalam dapur magma. Karena ketidakstabilan tersebut kemudian dikonversikan menjadi letusan,” ujarnya dilansir itb.ac.id.
Mirzam menjelaskan faktor pertama, yaitu kondisi di bawah dapur magma. Hal ini berkaitan dengan adanya pasokan (supply) magma baru. Proses tersebut berkaitan dengan proses geologi di mana adanya subduksi, palung, adanya pemekaran lantai samudra, dan terdapat titik panas. Selama proses tektonik tersebut bekerja maka proses pembentukan pasokan magma baru akan terjadi.
“Akibatnya ketika magma baru itu terbentuk dia bergabung dengan magma yang sudah ada di dalam dapur magma. Nah ketika terjadi kelebihan volume maka kelebihannya itu harus dikeluarkan sehingga terjadilah erupsi,” ungkapnya.
Ia menegaskan, bahwa erupsi yang disebabkan oleh faktor pertama sifatnya siklus, yang bisa dipelajari, ada rentang waktunya, dan volumenya relatif sama.
Selanjutnya, untuk proses yang kedua adalah yang terjadi di dalam dapur magma. Menurut Mirzam, hal ini berkaitan dengan jumlah magma yang terdapat di dalamnya. Di dalam ruang itu, magma mengkristal karena suhu menurun. Magma yang sudah terkristalisasi lebih berat daripada batuan panas semi-cair sehingga akan tenggelam ke dasar ruang magma. Ini mendorong sisa magma ke atas, menambah tekanan pada penutup ruang itu. Sebuah letusan terjadi saat tutupnya tidak lagi mampu menahan tekanan. Hal ini juga terjadi dalam sebuah siklus sehingga dapat diprediksi.
“Yang berat tenggelam dan yang ringan ke atas maka akan terjadi erupsi karena ada tekanan gas ke atas. Faktor yang kedua ini juga sifatnya masih siklus, bisa diprediksi. Tetapi ada proses yang di dalam dapur magma ini yang sifatnya tidak siklus, tiba-tiba keluar dari polanya. Nah ini biasanya terjadi ketika dapur magmanya ambruk. Sehingga diibaratkan seperti ember yang sudah penuh kemudian dimasukkan batu ke dalamnya maka airnya pun akan keluar dan ini sulit diprediksi,” jelasnya.
Faktor yang terakhir adalah kondisi di atas permukaan gunung. Salah satunya adalah perubahan pasang-surut ketika gerhana bulan dan gerhana matahari terjadi. Untuk kasus ini, gunung-gunung api yang berada di tengah laut ini relatif lebih sensitif karena permukaan air yang naik akan menambah tekanan terhadap gunung api yang berada di tengah laut. Sehingga apabila gunung apinya berada pada titik kritis maka dia akan cenderung “batuk-batuk”. Misalnya Krakatau, Gamalama, Banda Api, dan lain-lain.
Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi meletusnya gunung api adalah berkaitan dengan pelelehan es pada gunung-gunung api yang berada di negara empat musim atau di wilayah kutub. Dr. Mirzam mencontohkan Gunung Eyjafjallajökull yang ada di Islandia. Pada 2010 lapisan es yang terdapat di gunung tersebut meleleh karena pemanasan global, dan perubahan dari musim dingin ke musim semi. Gunung Eyjafjallajökull sendiri setiap tahun esnya mencair sebanyak 11 miliar ton.
“Karena es itu meleleh maka bisa dibayangkan gunung api yang tadinya tertutup es sebagai penahan tudungnya, esnya hilang tiba-tiba. Beban yang hilang tersebut membuat kekurangan tekanan yang dapat menyebabkan magma di dalam gunung tersebut sangat mudah naik ke atas sehingga gunung api kemudian meletus,” ungkapnya.
Terkait gas Co2 yang dihasilkan erupsi sebuah gunung Mirzam menjelaskan bahwa ketika CO2 keluar maka terjadi efek rumah kaca. Panas yang masuk ke Bumi tertahan tidak bisa keluar lagi sehingga terjadi global warming. “Tetapi kalau SO2 yang keluar itu sebaliknya, gas ini seperti payung jadi panas dari matahari tidak bisa masuk maka letusan Tambora letusan Toba dan beberapa gunung api besar yang mengeluarkan SO2, menurunkan temperatur Bumi sampai beberapa tahun kemudian,” jelasnya.
Bagaimana Gunung Api di Indonesia? Menurut Mirzam, karena Indonesia berada di negara tropis, pengaruh faktor pemanasan global sangat kecil sekali karena Indonesia tidak punya gunung api yang tertutup es. Akan tetapi, letusan gunung api di Indonesia bisa mempengaruhi pemanasan global ketika gunung-gunung api itu meletus bersamaan dan mengeluarkan gas CO2 secara signifikan. (tim)