Burung bidadari ditemukan pertama kali oleh Alfred Russel Wallace di Pulau Bacan, Maluku Utara, tahun 1858. Wallace menyebutnya sebagai bird of paradise karena kecantikan burung ini. Penemuan itu lalu ditulisnya dalam sebuah laporan yang dikirim ke Inggris. Setahun kemudian, laporannya menjadi bahan kajian para ornitholog di Inggris.
Burung ini kemudian ditetapkan berada dalam keluarga Paradisae, dengan genus dan nama spesies Semioptera wallacii. Nama ini sebagai penghargaan terhadap Wallace, naturalis asal Inggris yang hidup pada tahun 1823 – 1913 itu.
Meski IUCN menetapkan statusnya masih Least Concern (LC), atau belum mengkhawatirkan, para ahli di Indonesia justru mengatakan burung ini terancam punah. Populasinya di alam bebas disebutkan hanya tinggal 50 – 100 ekor. Pemerintah pun memasukkan burung bidadari dalam daftar jenis burung yang dilindungi berdasarkan PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Menipisnya populasi burung bidadari bukan disebabkan penangkapan burung, melainkan akibat penebangan dan penjarahan hutan di Halmahera, terutama jenis kayu matowa. Akibatnya, spesies ini bidadari kehilangan habitat dan banyak yang mati.