IPOL.ID – Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN menggelar penelitian penting untuk mengetahui pola deformasi muka Bumi akibat tumbukan dua lempeng di Zona Transisi Selat Sunda (ZTSS).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi indikator potensi gempa bumi di Sumatera bagian paling selatan.
Djoko Nugroho, peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN dalam Webinar PRKG Geohazard #05, Selasa (7/5/2024), menyampaikan bahwa penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan vektor perpindahan kecepatan secara keruangan dan waktu (spasial dan temporal) dengan teknik geodesi yang memanfaatkan data Global Navigation Satellite System (GNSS) Indonesia Continuously Operating Reference Station (Ina-CORS) dan Interferometric Synthetic Aperture Radar (inSAR).
“Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan vektor secara vertikal dan horizontal untuk mengetahui deformasi permukaan bumi yang terjadi, asal muasal dan pengaruh tenaga penggerak (driving force), sehingga menghasilkan indikator potensi gempa bumi sebagai model konseptual di Sumatera bagian selatan pada ZTSS,” kata Djoko.
Djoko menyampaikan bahwa hasil analisis deformasi data bulanan sebagai indikator titik kritis gempa bumi adalah adanya perubahan arah vektor/anomali perpindahan sebelum Gempa Bumi Banten 2019. “Perubahan vektor perpindahan disebabkan “elastic reborn” sebelum terjadinya gempa,” ungkapnya.
Untuk itu, lanjut Djoko, dengan adanya anomali perpindahan vektor pada deret waktu data GNSS dilakukan pengujian dengan data gempa bumi sebelum Gempa banten 2019. “Dua gempa 5Mw sebelum Gempa Banten 2019 (5,0 Mw 12/5/2019 dan 5,1 Mw pada 28/7/2019) di muka selat Sunda dan selatan pelabuhan Ratu, tidak memberikan dampak perubahan arah vektor perpindahan pada deret waktu grafik GNSS Ina CORS di Sumatera bagian selatan,” jelasnya.
Dalam penelitian ini pun dilakukan analisis deformasi daerah penelitian yang mana masuk siklus gempa yang baru pasca Gempa Banten 2019. “Dengan adanya perubahan kontras fase interseismik dan co-post seismik maka dapat ditafsirkan bahwa segmen Selat Sunda sudah memasuki fase siklus gempa yang baru,” kata Djoko.
Dalam kasus gempa bumi Banten 7 MW 2019 yang terjadi di lepas pantai selatan pulau Jawa paling barat atau yang berada pada segmen Selat Sunda Banten mengungkap perbedaan signifikan pola zonasi perpindahan kecepatan sebelum dan sesudah gempa di daerah penelitian. Hal ini sekaligus memperkuat hubungan antara blok daratan Sumatera di bagian Selatan dengan Gempa yang terjadi di segmen Selat Sunda Banten
“Indikator titik kritis gempa bumi dengan kasus Gempa Bumi Banten 7 Mw Tahun 2019 dapat ditunjukkan dari data deret waktu GNSS Ina-CORS di seluruh stasiun Sumatera bagian selatan yang menunjukkan indikasi berupa anomali 3,5 bulan sebelum terjadi gempa bumi,” ujar Djoko.
Djoko pun mengungkapkan pemantauan deformasi permukaan bumi berkaitan dengan adanya potensi daerah bencana gempa bumi dan bencana permukaan bumi pengikutnya atau lainnya. Dibutuhkan kontinuitas dan kualitas data yang baik dan cukup cepat keakurasian dan ketepatan dan kerapatan data akan sangat mempengaruhi kualitas hasil pengolahan data dan analisisnya,” katanya. (ahmad)