IPOL.ID – Pengawasan petugas hingga pejabat terkait di lingkungan pemasyarakatan kembali dipertanyakan usai kasus dugaan jual beli kamar untuk narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Narkotika Jakarta, Jatinegara, Jakarta Timur.
Bagaimana tidak, diduga bertahun-tahun sudah kasus jual beli kamar untuk narapidana di berbagai Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lapas itu mencuat ke publik tapi hingga kini masalah tidak kunjung selesai.
Seperti halnya dugaan di Lapas Kelas IIA Narkotika Jakarta, keluarga narapidana mengaku harus membayar Rp30-40 juta agar kerabatnya yang ditahan dapat mendapatkan sel yang layak.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansah mengatakan, masalah jual beli kamar tak kunjung beres karena lemahnya pengawasan Inspektorat Kementerian Hukum dan HAM.
“Masalahnya pengawasan yang diduga lemah sehingga diduga praktik korupsi terus menggurita di kalangan Lapas dan Rutan,” ujar Trubus saat dikonfirmasi awak media di Jatinegara, Kamis (2/5).
Pernyataan tersebut bukan tidak berdasar karena pada Tahun 2022 lalu saja Komisi III DPR RI pernah mengungkap pungutan liar (Pungli) sewa kamar sebesar Rp1-2 juta di Lapas Kelas I Tangerang.
Belum lagi kasus narapidana di Lapas Rajabasa Bandar Lampung mengendalikan pengiriman 200 kilogram ganja menggunakan handphone selundupan yang dibongkar Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Maret 2024 lalu.
Persoalan itu diduga menunjukkan praktik pungli dan pelanggaran terjadi bukan hanya di satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham RI.
“Memang penegakan aturan yang ada selama ini lemah juga. Apalagi kepandaian mereka (oknum sipir) diduga sudah semakin menjadi bahkan mereka selama ini saling menutupi,” tegas Trubus.
Trubus menduga seluruh praktik pelanggaran di Rutan dan Lapas diketahui masing-masing pucuk pimpinan, bahkan diduga mereka mendapat keuntungan dari ulah dilakukan anak buahnya.
Inspektorat Jenderal Kemenkumham RI selaku pengawas internal di seluruh Rutan dan Lapas pun nyatanya tidak dapat berbuat banyak memberantas dugaan praktik pungli dan pelanggaran.
“Semua itu terjadi akibat dari faktor inspektorat yang juga lemah dalam penegakan pengawasan, hingga penegakan aturan. Itulah yang menjadi sumber masalah,” tukasnya.
Sebelumnya, seorang keluarga narapidana di Lapas Kelas IIA Narkotika Jakarta mengaku diminta Rp40 juta agar kerabatnya dapat keluar dari Blok Mapenaling lalu mendapat kamar.
Keluarga narapidana berinisial UL mengatakan, nasib dialami kerabatnya beda dengan narapidana lain berinisial WH yang membayar Rp30 juta agar dapat keluar dari Blok Mapenaling.
Dikonfirmasi dugaan pungli di Lapas Kelas IIA Narkotika Jakarta, Kantor Wilayah Hukum dan HAM (Kanwilkumham) DKI Jakarta menyatakan bakal menelusuri informasi tersebut.
Sementara, Kepala Kanwilkumham DKI Jakarta, Andika Dwi Prasetya mengatakan, pihaknya perlu melakukan klarifikasi dan konfirmasi untuk dapat memastikan kasus yang terjadi di jajarannya.
“Karena untuk menjawabnya saya harus lakukan klarifikasi dan konfirmasi. Bahkan harus dilakukan pendalaman agar jawaban saya bisa dipertanggung jawabkan,” kata Andika dikonfirmasi awak media di Jakarta, Rabu (1/5/2024).
Sementara itu, sebelumnya, dikonfirmasi awak media terkait hal tersebut, Fonika Affandi, Kepala Lapas Narkotika Kelas IIA Jakarta, masih enggan memberikan jawabannya. (Joesvicar Iqbal)