IPOL.ID – Mantan Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari angkat bicara perihal kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeretnya di KPK. Dia membantah bahwa 91 mobil miliknya telah disita oleh penyidik lembaga antirasuah.
“Ini adalah pembunuhan karakter, berita itu salah,” celetuk Rita, seperti dikutip Kamis (13/6/2024).
Rita menegaskan keberadaan mobil itu tidak sangkut pautnya dengan dirinya. “Karena memang bukan miliku, enggak ada itu satupun ya catat satupun mobil itu punyaku. Jadi yang dibilang itu hartaku semua, ngaco,” tegasnya.
Dia juga membantah pemberitaan bahwa mobil mewah yang digeledah oleh lembaga antirasuah tersebut merupakan miliknya karena tidak ada bukti kepemilikan yang sah. Bahkan, dia mengaku tidak pernah menitipkan mobil kepada pihak yang digeledah tersebut.
“Fitnah itu kalau saya ada pakai nama orang-orang itu untuk kepentingan mobil saya,” tukas Rita.
Rita pun mengulas kembali kasus yang menimpa dirinya saat masih menjabat Bupati Kukar. Ketika itu, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Rita disebutkan senilai Rp 25 miliar saat dilaporkan ke negara tahun 2010. Setelah itu pada 2014 KPK datang ke Kaltim guna memeriksa LHKPN milik Rita untuk perbaikan laporan dan penyesuaian.
Ketika ditanya sumber kekayannya tersebut, Rita menjawab hasilnya hanya dari produksi tambang perusahan batubara miliknya, beserta aset lainnya yang totalnya mencapai Rp 25 miliar saja. Itu sebelum dia menjadi kepala daerah tersebut.
“Karena memang saya banyak tanah kan. Nah, mereka (KPK) menghitung hanya berdasarkan perkiraan. Kira-kira kalau lahan batu bara SKN (perusahaan batu bara miliknya,red) dijual jadi berapa ya, lahan tersebut diperkirakan jadi Rp 150 m. Mereka yang menghitung itu semua, bukan aku, tambah lagi lahan sawit, jadilah meningkat LHKPN tersebut dari Rp 25m menjadi Rp220 miliar,” tutur Rita.
Terkait harta kekayaan pun ia mengklarifikasi. Bahwa sebelum dirinya menjabat Bupati, sekitar 2007 silam, ia sudah memiliki lahan tambang dan kelapa sawit. Nah, ketika dia melaporkan LHKPN saat menjabat Bupati, ia hanya melaporkan hasil produksinya.
“Jadi menurut orang setelah jadi bupati kekayaan saya meningkat, tidak. Padahal tambang sawit saya peroleh sejak tahun 2007 sebelum menjabat, dan saat laporan LHKPN pertama saya tidak laporkan lahannya, hanya hasil produksinya,” katanya.
Kasus ini pun mirip yang terjadi saat ini. Ketika 91 kendaraan mewah disebut-sebut tadi merupakan milik Rita.
“Jadi kesannya itu punya saya padahal tidak ada satu pun. Enggak ada beli pakai nama saya, nama orang, atau titip uang buat beli, wong itu harta2 mobil mereka, kok di berita itu milik saya,itu kan jahat banget, itu pembohongan publik namanya.”
Rita menjelaskan mobil miliknya beserta tanah serta aset lainnya seprti tas, sudah disita oleh KPK ketika kassnya mencuat pertama kali. Sehingga ia pun memohon agar jangan menyita aset dari pihak lainnya yang tidak ada hubungan dengan dirinya.
“Kasian orang kerja, masa diambil tanpa tahu asal usul,” tutur Rita lagi.
Dia pun keberatan namanya dikaitkan dengan kekayaan milik keluarganya terkait kasus TPPU. “Itu harta kakakku, enggak ada hubungannya dengan aku, satupun mobil yang di rumah kakak saya itu kepemilikan kakaknya, saya benar-benar tidak memiliki harta sebanyak itu,” imbuh Rita.
Nah, mengenai kasus dimana dirinya dituduh menerima gratifikasi senilai Rp 110 miliar, Rita menjawab gamblang. Si pemberi, katanya, adalah beberapa pengusaha dari Kukar. Tapi hanya Heri Susanto Gun atau Abun yang dipenjara karena dituduh memberi Rp 6 miliar.
“Lalu sisa Rp 104 M itu yang kasih siapa? Hantu? Kenapa mereka enggak bareng Abun, yang nerima katanya itu melalui Khairudin dan Junaidi, kenapa cuma khairudin yang masuk?,” singgung dirinya mempertanyakan.
Terpisah, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) La Ode menjelaskan perihal keberatan dari kubu Rita. Ia menerangkan jika KPK melakukan penyitaan terhadap barang-barang, pastinya punya dasar hukum yang kuat. Sehingga mereka berani mengambil tindakan hukum demikian. Persoalan tidak terimanya Rita karena namanya dikait-kaitkan sebagai pemilik barang mewah itu, ia menyebut harus memiliki bukti yang kuat.
“KPK saya rasa tidak mungkin gegabah atau sesederhana itu menuduh,” ucapnya dikonfirmasi melalui seluler.
Meski demikian dosen hukum itu memberikan pengecualian. KPK tetap harus bisa membuktikan adanya nama Rita dalam kepemilikan barang-barang mewah tadi, termasuk aliran dana dalam kasus TPPU yang dikaitkan terhadap dirinya. Kalau itu tidak bisa dilakukan, maka semua prosedur hokum yang dijalankan dinilai cacat.
“Apalagi ini tindak pidana. Tindak pidana itu tidak boleh sembarang tuduh, siapa yang menuduh harus bisa membuktikan. Misal KPK menebut adanya nama Bu Rita, berarti seharusnya KPK juga mampu dong tunjukan, buktikan itu. Kalau tidak mampu buktikan, bearti semua prosedur cacat hukum,” tegas La Ode.
“Kita lihat nanti, mampu tidak buktikan keterhubungan Ibu Rita dengan kasus ini, kalau tidak bisa buktikan, berarti fitnah dong kalau gitu.”
Sorotan lainnya adalah vonis bahwa Rita menerima gratifikasi senilai Rp 110 miliar dengan menyeret tiga nama. Yakni Rita sendiri, Khoiruddin dan Heri Susanto Gun alias Abun. Rita pun dituduh menerima sekitar Rp 6 miliar dari Abun. Adapun sekitar Rp 104 miliar yang dituduhkan padanya tidak bisa dibuktikan.
Menurut La Ode, kalau pun bukti di persidangan yang ditemukan adalah Rp 6 miliar, maka vonis hukuman haruslah sesuai dengan nilai itu. Bukan vonis berdasarkan nilai Rp 110 miliar. Kalau pun pihak Rita keberatan dengan vonis itu sebenarnya bisa ajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam hokum istilah itu disebut sebagai Novum atau bukti baru, dan bisa digunakan dalam upaya hukum luar biasa dengan cara PK tadi.
“Kalau pun ada kekeliruan, seharusnya ada PK untuk menggugurkan tuduhan yang tidak benar tadi. Ya walau pun tidak menghilangkan kesalahan melainkan cuma mengurangi masa tahanan saja,” tambah Laode. (Muhamad Solihin)