IPOL.ID – Pascaserangan Israel ke Rafah, seluruh wilayah Gaza kini terancam bencana kelaparan akibat terganggunya proses distribusi bantuan untuk warga Palestina. Menurut laporan terbaru PBB, proses pengiriman bantuan tersebut juga “semakin sulit” karena adanya penjarahan dan penyelundupan.
Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, mengatakan bahwa pengiriman bantuan menjadi “semakin rumit” dan jumlah penyeberangan ke Gaza pun masih jauh dari yang dibutuhkan.
Semakin maraknya penjarahan truk pengangkut bantuan ke Gaza juga menjadi salah satu faktor mengapa Lazzarini menyebut Gaza saat ini mengalami “kerusakan hukum dan ketertiban yang nyaris menyeluruh.”
“Kami perlu pengiriman bantuan yang berkelanjutan, bermakna, dan tidak terputus di Jalur Gaza jika kita ingin membalikkan situasi kelaparan di sana,” jelas Lazzarini kepada wartawan di markas PBB Jenewa, Selasa (25/6), dilansir VOA.
Pengiriman bantuan melalui jalur udara ke Gaza juga masih dilakukan.
Meski begitu, menurut laporan terbaru dari lembaga Klasifikasi Ketahanan Pangan Terpadu (IPC), hampir semua orang di Gaza berjuang untuk mendapat makanan yang cukup, dan lebih dari 495.000 orang, atau 1 dari 5 orang di Gaza, diperkirakan akan mengalami tingkat kelaparan tertinggi dalam beberapa bulan mendatang.
“Selama saya berkarir, saya belum pernah melihat situasi di mana hampir 100% penduduknya menghadapi risiko kelaparan,” ujar Jeremy Konyndyk, Ketua Refugees Internasional kepada kantor berita the Associated Press.
Para staf medis di Rumah Sakit Ahli Arab berduka di dekat jenazah rekan mereka yang dibungkus kafan yang terbunuh selama pemboman Israel di kamp pengungsi Shati, di lokasi rumah sakit di Kota Gaza (14/6).
“Saya kira apa yang benar-benar mengejutkan dari data IPC adalah bahwa semua upaya yang telah dilakukan, semua tekanan terhadap pemerintah Israel pada bulan Maret dan April, semua yang telah dicapai, hanyalah kembali meningkatkan risiko bencana kelaparan menjadi sangat tinggi,” pungkas Konyndyk.
Konyndyk juga menyebut bahwa jika proses pengiriman bantuan kembali terganggu, seperti halnya yang terjadi selama operasi Rafah, maka “semua kemajuan itu, meski sedikit dan belum cukup, akan hilang lagi.”
Setelah sempat terhenti atas dugaan adanya keterlibatan dengan Hamas, aliran bantuan dana untuk warga Palestina melalui UNRWA kembali dilanjutkan sebagian besar negara pendonor, dan sejumlah donor baru pun bermunculan.
“Kami mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat. Namun semua ini tidak dapat mengimbangi penangguhan donor utama kami, Amerika Serikat. Dan bahkan jika kami memiliki Amerika Serikat, kami pasti tidak akan berada dalam jalur yang berkelanjutan dalam hal pendanaan yang dapat diprediksi untuk lembaga ini,” ujar Lazzarini.
Pada awal tahun ini, Israel menuduh belasan staf UNRWA ikut ambil bagian dalam serangan 7 Oktober yang berakibat penangguhan donor dari Amerika Serikat dan belasan negara lainnya.
Semua negara, kecuali Amerika Serikat dan Inggris, kini telah melanjutkan kembali pendanaan mereka setelah dilakukan pemeriksaan independen terhadap UNRWA. Negara pendonor baru pun bermunculan seperti Algeria, Irak, Yordania dan Oman, ditambah donor individual dari Singapura.
Perang antara Israel dan Hamas telah melumpuhkan hampir seluruh kapasitas Gaza untuk menghasilkan produk pangan mereka sendiri.
Amerika Serikat telah menggalang dukungan internasional untuk proposal pembebasan sandera dan gencatan senjata permanen, namun baik Israel maupun Hamas belum sepenuhnya menerima proposal tersebut. (VOA Indonesia/far)