Menurut analisa Esther yang juga dosen di Universitas Diponegoro, perlambatan perdagangan dunia turut membuat turun selisih antara ekspor dengan impor atau neraca perdagangan. “Pada kuartal 1-2023, Indonesia mengalami surplus perdagangan sejumlah 14 miliar USD. Sedangkan pada kuartal pertama tahun 2024, surplus tersebut menurun jadi 9,8 miliar USD. Sementara harga komoditas ekspor utama Indonesia mulai menurun di pasar global,” ungkapnya.
“Tren utang Indonesia terus meningkat, bukan hanya dalam USD tapi juga dalam Rupiah yang dapat dilihat dari SBN. Sehingga membuat ketergantungan terhadap USD sebagai alat pembayaran semakin meningkat. Hal tersebut tidak diimbangi oleh generate income dalam bentuk USD, karena kapasitas ekspor terus mengalami penurunan,” kata Esther.
Esther memandang program makan siang gratis malah akan mendorong impor lebih tinggi. Melihat kondisi fiskal Indonesia sedang tidak baik-baik saja karena dari tahun ke tahun ratio utang punya tren meningkat, sementara income negara menurun sehingga membuat defisit fiskal melebar.