Mulai dari proses perizinan melakukan kampanye pada aset pemerintah daerah yang dimudahkan, domplengan popularitas agar dikenal masyarakat, hingga pengaruh relasi kuasa.
Masyarakat yang konon memiliki pilihan menentukan pemimpin justru dipaksa untuk memilih sosok pemimpin tertentu karena pengaruh kekuasaan dari kepala daerah yang sebelumnya.
“Hal yang lebih buruknya pilihan yang dipaksakan ke masyarakat itu sosok tidak kompeten. Karena bisa maju di Pilkada lewat kekuatan politik dinasti, bukan karena dia cakap,” katanya.
Fauka mengatakan, selain dinasti politik, pelaksanaan Pilkada juga lebih berisiko membuka peluang korupsi, karena para kandidat harus memiliki dompet tebal untuk mengikuti kontestasi.
Para kandidat yang sudah menghabiskan banyak uang saat kampanye dikhawatirkan bakal berupaya mencari cara mengembalikan modal dengan korupsi ketika terpilih dan atau saat sudah menjabat.
“Belum lagi risiko kontrak politik kalau ada cukong yang mendanai kampanye kepala daerah. Kepala daerah terpilih seperti itu hanya mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan cukong,” imbuhnya.