IPOL.ID – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengabulkan lima permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice). Hal itu setelah melalui gelar perkara (ekspose) yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Asep Nana Mulyana di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (19/8/2024).
“Berdasarkan hasil ekspose, Jampidum menyetujui lima permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar melalui keterangannya Senin (19/8/2024).
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme tersebut yakni atas nama tersangka Arwandari Kejaksaan Negeri Penajam Paser Utara, yang disangka melanggar Primair Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP Subsidair Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dan Rudini alias Anggut dari Kejaksaan Negeri Balangan, yang disangka melanggar Kesatu Pasal 480 Ke-1 KUHP tentang Penadahan atau Kedua Pasal 480 Ke-2 KUHP tentang Penadahan.
Lalu, Yuliansyah dari Kejaksaan Negeri Tanah Laut, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) Ke-4 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan dan Rizky Ariyanto dari Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Tengah, yang disangka melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Ditambah tersangka Firsa Wahyu Efendy dari Kejaksaan Negeri Tarakan, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipu atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan,” tambah Harli.
Adapun penerapan mekanisme keadilan restoratif terhadap kelima tersangka dilakukan dengan sejumlah alasan. Di antaranya telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf dan tersangka belum pernah dihukum.
Lalu, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana dan ncaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun serta trsangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya dan proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
“Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar” pungkas Harli seraya menambahkan bahwa penerapan mekanisme keadilan restoratif juga dengan mempertimbangkan faktor sosiologis dan masyarakat merespon positif. (Yudha Krastawan)