“Kalau calon tunggal pada 2015 dilakukan untuk memberikan akses pencalonan kepada partai, pasca 2015 calon tunggal disertai motif untuk menutup akses pencalonan oleh partai dengan memborong semua tiket lebh dari sepuluh partai. Sehingga parai tersisa tidak bisa mengusung calon,” tuturnya.
Titi menyebutkan pada pemilihan kepala daerah tahun ini terdapat sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat partai politik melalui rekomendasi dari DPP partai sebagai syarat pengajuan calon. Dia menegaskan fenomena kotak kosong menunjukkan ekspresi politik yang berbeda dengan calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik; bukan karena rendahnya partisipasi pemilih atau kualitas demokrasi. (tim/voa)