Di satu sisi, Hardjuno juga menyayangkan Marimutu hanya dipertanggungjawabkan secara perdata, bukan pidana. Padahal, katanya, nilai kerugian negara yang ditanggungnya mencapai Rp 29 triliun.
“Kasus ini cermin adanya ketimpangan dalam penerapan hukum di Indonesia. Kita melihat bahwa obligor dengan kewajiban sebesar Rp 29 triliun hanya dihadapkan pada kasus perdata, sementara pelaku pencurian kecil atau kesalahan perpajakan yang nilainya jauh lebih kecil bisa langsung dijatuhi hukuman pidana,” tegasnya. “Ada ketidakadilan dalam perlakuan hukum yang harus segera kita tangani,” lanjutnya.
Kandidat doktor bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu berbicara soal kemungkinan justifikasi hukum untuk memperlakukan kasus ini sebagai perdata. Dia menilai perlu dilakukan penerapan hukum progresif yang lebih tegas.
“Benar bahwa secara doktrin hukum, utang seperti yang dialami Marimutu dapat dianggap sebagai persoalan perdata. Namun, kita harus ingat bahwa BLBI bukan kasus biasa. Nilai utang yang melibatkan Rp29 triliun tentu bukanlah jumlah yang bisa kita anggap remeh,” terangnya.