Menurut Fery, Sabo berasal dari bahasa Jepang, “sa” yang berarti pasir dan “bo” yang berarti pengendalian. Teknologi sabo pertama kali diperkenalkan di Indonesia 1970 oleh tenaga ahli teknik sabo dari Jepang, Mr. Tomoaki Yokota.
“Saat itu teknologi sabo dipandang sebagai salah satu alternatif terbaik untuk penanggulangan bencana alam akibat erosi, aliran sedimen. Sabo-Dam merupakan terminologi umum untuk bangunan penahan, perlambatan dan penanggulangan aliran lahar yang berpotensi terlanda lahar,” katanya.
Selain sebagai pengendali lahar akibar erupsi gunung berapi, sabo dam juga bermanfaat sebagai pengendali erosi hutan dan daerah pertanian serta mencegah bahaya longsor. Material pasir dan batu-batuan yang tertahan di sabo dam juga dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber penghasilan. “Pasir dan batu yang hanyut bersama lahar dingin Merapi sangat berkualitas baik dan yang terbaik di antara pasir dan batu lainnya di dunia,” jelas Fery. Kawasan yang pernah tertutup atau dilewati lahar dingin Merapi selalu meninggalkan ‘pupuk alami’ bagi pertanian, sehingga sangat subur.