Strategi kedua adalah mempercepat pengembangan vaksin malaria untuk Indonesia. Dia mengatakan, berbeda dengan COVID-19 yang vaksinnya selesai dalam 22 bulan, namun 22 tahun berlalu vaksin malaria tidak jadi-jadi. Hal itu karena malaria dianggap penyakit negara miskin, sehingga kurangnya dana menjadi masalah.
Oleh karena itu, kata dia, Indonesia ikut dalam sejumlah mekanisme pembiayaan global seperti Global Fund dan Gavi guna mempercepat penyelesaian penyakit-penyakit menular tersebut di Indonesia.
Adapun strategi ketiga, lanjut dia, adalah penyediaan obat malaria. “Begitu orangnya kena, obatnya ada. Karena kalau tidak diobati, biasanya kan panasnya menggigil, itu menyerang otak, dan penderita bisa meninggal,” katanya.
Dia juga mengingatkan bahwa kedisiplinan dalam minum obat juga perlu dibangun, untuk menghindari risiko resistensi terhadap obat. “Obat tersebut perlu diminum sesuai aturan dan harus selesai,” ujarnya.
Menurut Budi, malaria dan tuberkulosis adalah sindrom negara miskin, yang penyelesaiannya kadang diabaikan. Berbeda dengan COVID-19, katanya, yang penyelesaiannya cepat karena terjadi di seluruh negara.