Pertahankan Kearifan Lokal
Saat memperkenalkan Nissa, pembawa acara di forum FAO itu menyebutnya sebagai penggagas sekolah petani muda “yang membantu petani memiliki keahlian pertanian berkelanjutan dengan tidak melupakan nilai-nilai kearifan lokal.”
“Ia (Nissa-red) telah berbagi ilmu ke seluruh masyarakat di sekitarnya,” tambahnya.
Sebagai perempuan yang lahir dari keluarga petani, yang senantiasa menggantungkan mata pencahariannya dengan mengolah lahan pertanian dan perkebunan di kaki Gunung Papandayan, di Garut, Jawa Barat, Nissa mengatakan kearifan lokal terbukti ikut menjaga dan mempertahankan ketersediaan pangan.
“Dalam kearifan lokal orang Sunda, kita mengenal sawah. Sawah adalah gudang makanan yang paling variatif, mudah diakses, murah dan aman. Di gudang makanan ini kita menemukan makanan yang berbeda-beda. Ada padi, ada eceng sawah, tutut, keong mas, genol atau ikan kecil-kecil, jamur yang tumbuh subur di pinggir2 pematang terutama setelah hujan dan banyak lainnya. Kekayaan luar bias aini baru di sawah saja. Ini semua aksesnya sangat mudah, murah dan jika dikelola secara organik maka circular economy yang dikelola pesantren ekologi ini tak terhingga. Bayangkan bagaimana jerami misalnya, yang setelah panen tidak dibuang, tapi dijadikan pakan ternak bebek dan angsa; atau daun-daun yang kering, dikumpulkan dan ditanam di tanah. Ini tidak terjadi dalam revolusi hijau karena semua harus bersih untuk kemudian diberi pupuk urea. Tapi kami mempertahankan apa yang ada di alam. Belum lagi jika kita bicara azola pinata yang sangat pintar menangkap protein dan oksigen di dalam udara,” ujar Nissa yang akan memaparkan semua hal ini dalam forum dialog internasional di FAO pada hari Kamis (17/10).