“Kooptasi terhadap lembaga penegakan hukum tidak hanya hakim tapi juga KPK, kepolisian, kejaksaan itu juga berkelindan dengan kekuasaan terlalu kuat sehingga akhirnya mereka tidak bisa benar-benar memenuhi rasa keadilan di masyarakat secara umum,” kata Bivitri.
Bivitri menyoroti dampak negatif dari undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat, seperti Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyebabkan masyarakat takut untuk bersuara.
Dia juga mengingatkan tentang pembatasan terhadap KPK, yang seharusnya berfungsi sebagai elemen penting dalam penegakan hukum dan anti-korupsi.“Akhirnya apa saja (kebijakan) yang diinginkan oleh Jokowi…dengan dukungan koalisinya akan selalu lolos. Kemudian, suara civil society yang harusnya bisa jadi penyeimbang juga dimatikan,” kata dia.
Pada 2019, protes besar-besaran meletus sebagai tanggapan terhadap revisi KUHP, yang dikritik karena membatasi kebebasan berekspresi dan melanggar hak pribadi, menjadi gelombang protes publik atas tindakan pemerintah yang dianggap mengikis demokrasi.