Dosen psikologi Universitas Paramadina Tia Rahmania, menjelaskan bahwa Gen-Z, yang diprediksi akan mencakup 27 persen populasi tenaga kerja di tahun 2025, sering kali menghadapi tekanan tinggi akibat ekspektasi yang berorientasi pada hasil instan dan kebutuhan akan keseimbangan hidup. “Banyak Gen-Z yang mengalami stres karena terlalu fokus pada hasil akhir dan kurang menghargai proses. Ini kerap kali menjadikan mereka cepat berpindah pekerjaan dan menuntut lingkungan kerja yang tidak toxic serta fleksibel,” ungkap Tia.
Adrian Wijanarko Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina mengungkapkan bahwa kesulitan ekonomi dan sulitnya akses perumahan menjadi masalah serius bagi Gen-Z, terlebih dengan ketidakpastian ekonomi global saat ini. “Hasil riset kami menunjukkan bahwa 62 persen Gen-Z merasa perlu mendapatkan pengakuan atas harga dirinya dalam mencari pekerjaan, misalnya untuk soal gaji atau kompensasi,” kata Adrian.
“Gen-Z menginginkan pekerjaan yang shortterm maka shortwin atau kecepatan kompensasi setelah proyek berhasil dikerjakan. Pola pengupahan juga harus disesuaikan, karena Gen Z juga ingin memilih sendiri benefit semisal tunjangan kendaraan, komunikasi dan lain sebagainya,” tegas Adrian.