“Nanti KPU dan Bawaslu akan ada pekerjaan terus, jadi tidak lagi kita bicara dia ad hoc atau tetap, jadinya sudah tetap,” kata Zulfikar.
Penyelenggaraan Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 pada tahun yang sama diyakini oleh berbagai pemangku kepentingan dan pemerhati pemilu sebagai salah satu penyebab turunnya partisipasi masyarakat dalam memilih. Penurunan partisipasi masyarakat terlihat pada perbandingan antara hak pilih yang digunakan pada Pemilu 2024 dengan Pilkada 2024.
Pada Rabu (5/6), KPU RI mengungkapkan bahwa 81,78 persen pemilih menggunakan hak pilih pada Pilpres 2024, kemudian sebanyak 81,42 persen untuk Pemilu Anggota DPR RI, dan 81,36 persen untuk Pemilu Anggota DPD RI. Sedangkan, untuk rata-rata nasional partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 mencapai 68 persen.
Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini secara aktif mendorong untuk membagi keserentakan pemilihan menjadi dua kategori, yakni keserentakan pemilihan nasional dan keserentakan pemilihan daerah.
Titi juga menyarankan agar kedua pemilihan tersebut diberi jarak selama dua tahun. Menggelar pemilu di tingkat nasional dan daerah pada satu tahun yang sama menjadikan pemilihan di Indonesia sebagai pemilihan yang paling kompleks. (*)