Aryo juga menyoroti ketergantungan Apple pada distributor resmi daripada manufaktur langsung, yang membuat kepatuhan menjadi lebih rumit.
“Distributor bukanlah produsen atau pemilik merek. Aneh rasanya mengharapkan mereka memenuhi persyaratan teknis seperti pengujian jaringan 5G,” kata Aryo.
Ia mengkritik kontribusi Apple yang minimal dalam memenuhi persyaratan komponen lokal.
“Inisiatif produksi lokal mereka – seperti merakit charger atau headset – hanya menyumbang 0,3 persen dari ambang batas 70 persen yang diwajibkan,” kata Aryo.
“Ini membingungkan. Ketika Apple mengumumkan investasi dalam bentuk pabrik atau fasilitas, mereka sering kali gagal memenuhi komitmen yang belum terpenuhi dari perjanjian sebelumnya.”
Sebaliknya, Samsung dari Korea Selatan dan Xiaomi dari China masing-masing telah menginvestasikan Rp8 triliun dan Rp5,5 triliun untuk manufaktur di Indonesia, menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Harapan untuk kontribusi yang adil
Strategi Apple sejauh ini melibatkan investasi lebih dari Rp1 triliun setiap tahun, dengan kenaikan 30 persen setiap tahunnya. Namun, perusahaan itu belum memenuhi target 2023 sebesar Rp1,71 triliun, yang menjadi alasan Indonesia menolak tawaran investasi kedua Apple senilai USD100 juta, termasuk rencana pembangunan pabrik komponen dan aksesori.