“Jadi bilateral yang mempunyai arah yang progresif terutama dengan mitra-mitra strategis. Itu yang seharusnya justru harus lebih didorong dibandingkan dengan perjanjian atau kerja sama multilateral. Tentu punya advantage value mungkin lebih kohesif, lebih inklusif, cuma permasalahan hari ini adalah dengan adanya sistem kerja sama multilateral justru tidak menjamin adanya kemanfaatan langsung dibandingkan kesepakatan bilateral yang prosesnya lebih sederhana dan singkat,” tuturnya.
Lebih jauh, Galau berharap dengan menjadi anggota BRICS Indonesia bisa terlibat lebih aktif lagi bekerja sama dengan seluruh anggota dan bukan hanya dengan China yang merupakan salah satu investor terbesar di Tanah Air. Dengan begitu, peran Indonesia di dalam aliansi ekonomi yang beranggotakan Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab akan lebih maksimal lagi ke depannya.
“Harapannya keterlibatan kita justru lebih bisa banyak bicara sebagai representative negara global south, bukan hanya sebatas pertimbangan semu kerja sama yang itu belum konkret akan kita dapatkan. Akan lebih progresif lagi ketika Indonesia berperan aktif di dalam BRICS mungkin bisa lebih berfokus kepada penekanan grade investment dalam beberapa dekade ke depan. Jadi harapannya visi Indonesia melihat ke sana, jangan sampai sekadar mengklaim bahwa kita ada di satu aliansi besar tanpa bisa men-deliver satu manfaat yang akan turun di industri, dan juga pasar nasional kita,” pungkasnya. (tim/VoA)