Dari sisi kasus ditangani, sambung dia, LPSK baru menyentuh pelaku-pelaku lapangan dan belum sampai pada pelaku besar, apalagi korporasi.
“Dalam melindungi korban, keberanian mereka untuk bicara adalah aset berharga. Ini tak hanya tentang perlindungan fisik, tetapi juga membangun keberanian untuk mengungkapkan kebenaran,” tukasnya.
Wakil Ketua LPSK, Wawan Fahrudin menambahkan, dari 10.217 permohonan perlindungan ke LPSK di tahun 2024, sebanyak 594 di antaranya, berasal dari tindak pidana perdagangan orang.
“Ada potensi sinergi kelembagaan yang bisa dibangun bersama. Jika Kementerian P2MI melakukan pencegahan, LPSK dapat menangani hak-hak korban sebelum mereka dipulangkan, termasuk hak atas restitusi. Ini bisa jadi efek jera bagi pelaku. Harapan kami, hakim memiliki pemahaman yang baik untuk memberikan restitusi sebesar-besarnya bagi korban,” kata Wawan.
Selain itu, ditambahkan Wawan kembali, LPSK memiliki skema pemulihan psikososial, meski anggarannya terbatas.
“Psikososial ini terbagi menjadi reguler dan lanjutan. Sepemahaman saya, Kementerian P2MI memiliki program pemberdayaan. Bantuan psikososial ini dapat disinergikan, sehingga mitigasi awal dilakukan LPSK, sedangkan pemberdayaan jangka panjang dapat menjadi tanggung jawab Kementerian P2MI,” tutup Wawan.