Di samping itu, banyak pedagang yang membeli barang lebih pada bulan Desember karena masih berlaku tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen, sehingga membuat permintaan pada akhir tahun agak besar. “Mereka menyimpan stok hingga Januari dan akan dijual dengan tarif PPN 12 persen. Jadi, mereka ada untung kurang lebih 1 persen,” terangnya.
Selain terbukti mampu berdaya saing, lanjut Febri, industri manufaktur di Indonesia juga membuktikan strukturnya cukup baik sehingga produktivitas bisa berjalan lancar dari hulu sampai hilir. “Tanpa dukungan regulasi yang tepat saja, industri kita sudah bisa ekspansif. Apalagi kalau didukung regulasi yang tepat, seperti pengendalian barang-barang impor, tentunya manufaktur kita akan meroket tinggi,” imbuhnya.
PMI manufaktur Indonesia pada Desember 2024 mampu melampui PMI manufaktur RRT (50,5), Jerman (42,5), Rusia (50,8), Inggris (47,3), Amerika Serikat (48,3), Jepang (49,5), Korea Selatan (49,0), Vietnam (49,8), Malaysia (48,6), dan Myanmar (50,4). PMI manufaktur di negara-negara kuat masih banyak yang mengalami kontraksi.