IPOL.ID – Kasus seorang siswa Sekolah Dasar (SD) di Medan, Sumatera Utara, yang dihukum belajar di lantai gegara menunggak pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) selama tiga bulan, menuai keprihatinan dari berbagai pihak.
Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief Muhammad Alaydrus, turut angkat bicara dan meminta agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
Habib Syarief menngungkapkan keprihatinan dan kesedihannya atas kasus yang menimpa siswa kelas IV SD swasta berinisial MA tersebut.
Diketahui MA dihukum belajar di lantai oleh gurunya karena belum membayar tunggakan SPP selama 3 bulan, dengan total biaya Rp180 ribu.
“Saya sedih dan prihatin. Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi semua sekolah, baik negeri maupun swasta. Kasus seperti itu tidak boleh terjadi lagi,” katanya melalui rilis yang diterima pada Rabu (15/1).
Ia menilai adanya potensi bias paradigmatik dalam memandang sebuah peraturan. Di mana, isu ini terlihat seolah-olah sanksi harus segera diterapkan ketika terjadi sebuah pelanggaran.
Sebab itu, Habib Syarief turut mengingatkan bahwa tujuan hukum tidak hanya soal kepastian hukum, namun ada kemanfaatan dan keadilan.
Maka, sebaiknya sekolah dapat mempertimbangkan respon yang diberikan dengan berdasarkan kemanfaatan, terutama bagi siswa didik.
“Tidaklah layak bila siswa SD diperlakukan seperti itu hanya gara-gara belum membayar tunggakan SPP,” tegasnya.
Berdasarkan informasi yang ia terima, siswa SD yang dihukum tersebut memang tidak mendapatkan kekerasan fisik, akan tetapi mental anak itu terluka dengan hukuman belajar di lantai karena dihukum di depan siswa lainnya.
Tak ingin kasus ini terulang, Politisi Fraksi PKB itu menegaskan bahwa pembayaran SPP merupakan urusan dan tanggung jawab orang dewasa, bukan urusan anak-anak. Jadi, SPP harus menjadi urusan orang tua siswa dan sekolah.
“Tugas anak itu belajar, bukan memikirkan SPP. Sekolah harus memperlakukan semua siswa dengan perlakuan yang sama,” papar politisi berlatar belakang ulama ini.
Jika ada siswa yang belum membayar SPP, kata Habib Syarief, sekolah seharusnya berbicara baik-baik dengan orangtua siswa.
Jika orangtua siswa betul-betul tidak bisa membayar, karena tidak mempunyai uang, maka hal itu bisa dilaporkan ke dinas pendidikan.
Apalagi, siswa tersebut adalah penerima dana Program Indonesia Pintar (PIP). Hanya saja pada akhir 2024, dana PIP belum cair. Jadi, seharusnya pihak sekolah bisa menunggu pencairan PIP dari pemerintah.
“Masalah itu sebenarnya bisa diselesaikan dengan komunikasi antara pihak sekolah dengan orangtua dan dinas pendidikan,” ungkapnya.
Menutup pernyataannya, ia berharap agar sekolah tidak lagi menghukum siswa karena kesulitan membayar SPP.
Dirinya juga menekannkan sekolah harus lebih bijak mengatasi persoalan pendidikan, sehingga tidak mengorbankan anak.
“Semua anak berhak mendapatkan pendidik yang layak. Presiden Prabowo memberikan perhatian serius terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia,” pungkasny. (far)