Selama ini, pemahaman tentang kebencanaan disebut belum menyentuh perempuan dan penyandang disabilitas, sehingga perlu pendekatan gender untuk menguatkan peran kedua kategori tersebut dalam melakukan pengurangan risiko bencana.
Perempuan, kata dia dapat berperan dalam berbagai fase bencana, mulai dari pra-bencana, saat bencana, hingga pasca-bencana. Begitu juga dengan kelompok penyandang disabilitas, mereka perlu mendapatkan hal yang sama dalam advokasi tentang kebencanaan.
Penanganan bencana sendiri tidak bisa diselesaikan dengan cara yang sama antara korban laki-laki, perempuan, orang tua, orang sakit, serta disabilitas.
Penanganan harus responsif gender karena data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat perempuan memiliki risiko 14 kali lebih tinggi menjadi korban bencana dibanding laki-laki.
“Perempuan dan penyandang disabilitas adalah kelompok rentan dan marjinal yang akan lebih terdampak perubahan iklim dan risiko bencana, sebab mereka memiliki akses yang terbatas dan social exclusion yang mengurangi jaring pengaman,” kata Maliki.