IPOL.ID – Komite Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) bakal terus bersinergi dalam memutus mata rantai kekerasan terhadap anak serta melakukan kegiatan preventif kepada anak-anak dan masyarakat. Saat ini Komnas PA sudah ada di 12 Provinsi dan 127 Kabupaten/Kota.
Dalam catatan Komite Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) sepanjang tahun 2024-Februari 2025, Ketua Umum Komite Nasional Perlindungan Anak (Ketum Komnas PA), Agustinus Sirait mengungkapkan bahwa kasus-kasus yang sudah Komnas Perlindungan Anak selesai dampingi di tahun 2024, antara lain, pertama kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sumatera Utara.
“Yakni Freddy Simangunsong, Suami Pit Bupati Labuhan Batu, sempat di vonis bebas oleh Pengadilan Negeri Rantau Prapat, setelah putusan vonis Komnas Perlindungan Anak datang langsung ke Sumatera Utara untuk bertemu korban dan mendalami kasus. Akhirnya pelaku divonis 5 tahun oleh Mahkamah Agung,” ungkap Ketum Komnas PA, Agustinus Sirait pada awak media di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Kedua, Komnas Perlindungan Anak juga turut mendampingi 11 anak korban sodomi yang dilakukan oleh Pemilik Panti Asuhan Darussalam An-Nur, Tangerang.
Ketiga, Komnas Perlindungan Anak mendampingi anak korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh oknum PJLP tenaga honorer Damkar DKI Jakarta Timur.
Saat ini, kasus yang sedang dalam proses pendampingan Komnas Perlindungan Anak di antaranya, pertama kasus Child Grooming. Dugaan kasus pelecehan seksual di wilayah hukum Tangerang Selatan. Korban seorang anak laki-laki berusia 12 tahun.
Sedangkan pelaku adalah orang yang dikenal melalui media sosial. Kasus ini sudah diarahkan dan direkomendasikan untuk laporkan ke Polres Tangerang Selatan namun mendapat penolakan dari pihak kepolisian karena dianggap kurangnya bukti.
Lalu kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh dua orang kakek berinisial E dan B. Korban adalah seorang anak perempuan disabilitas hingga mengandung.
“Kasus ini baru saja dilaporkan ke Komnas Perlindungan Anak dan kedua pelaku sudah ditahan di Polres Jakarta Timur,” ungkap Agustinus.
Ketum Komnas PA, Agustinus juga memperigatkan bahwa pada awal tahun 2025 sudah terjadi banyak kasus kekerasan fisik maupun kekerasan seksual dialami anak-anak.
“Kami harap semua pihak waspada dan memberikan atensi agar kekerasan terhadap anak bisa dikurangi dan gerakan memutus mata rantai dapat konkrit dilaksanakan,” tegasnya.
Seperti pada kasus kekerasan anak dialami anak korban di Polres Metro Jakarta Timur. Komnas PA melakukan pendampingan kepada Ibu korban berinisial S. Sampai saat ini pun, pihaknya belum mendapatkan informasi para pelaku disangkakan pasal berapa?
“Kami pastikan untul mengawal kasus kekerasan terhadap anak ini sampai akhir,” tegas Agustinus.
Dikatakannya, untuk penanganan psikologis terhadap anak korban pastinya dilakukan dan ada tim untuk pendampingan keluarga maupun korban anak.
“Kebutuhannya seperti apa, kami siap mendampingi anak dan keluarga korban. Jika dibutuhkan apakah itu rumah aman kami lakukan”.
“Dalam kasusnya Ibu S mau merawat anaknya sendiri, konsentrasi kami adalah kepada pendidikannya. Koordinasi dengan pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta sudah dilakukan. Kami asesmen awalnya apakah asesmen itu nantinya di sekolah umum atau luar biasa,” ungkapnya.
Tak hanya itu, terkait kasus, Komnas PA pun tegah membicarakannya dengan Kementerian Sosial. Sehingga bisa memberikan perhatian khusus terhadap kasus.
“Kami dorong untuk pembiayaan sekolahnya, mengusahakan untuk itu”.
Agustinus mengungkapkan, Komnas PA dalam menangani kasus korban perempuan disabilitas dengan pelaku diamankan ada dua orang oleh Polres Metro Jakarta Timur. Namun hasil dari bertanya kepada korban, terduga pelaku ada banyak.
“Kami Komnas PA, sesuai visi misi gubernur DKI Jakarta yang baru bahwa anak harus mendapatkan hak yang layak karena generasi penerus bangsa,” ujarnya.
“Untuk kasus pelaporan itu, anak korban saat ini sudah happy/senang dan korban sudah meminta sekolah lagi dibantu Ibu Dewan. Kami kolaborasi membantu pendidikannya di bulan Juli 2025 agar korban bisa sekolah lagi dan itu dikabulkan,” tambahnya.
Namun tetap harus melewati proses asesmen dan pelaku dihukum seberat-beratnya serta korban mendapatkan haknya kembali.
“Untuk pendampingan dan penanganan Komnas PA terus mengawal kasus ini,” ujarnya.
Sebab, saat ini darurat kekerasan terhadap anak terus menanjak, dan kekerasan seksual masih tinggi di Indonesia. Edukasi sosialisasi advokasi di seluruh Indonesia di kabupaten-kota menjadi isu sentral.
“Kita tak boleh lalai, untuk orangtua harus tetap kontrol, anak tetap diawasi. Tingkat paling rendah RT RW menjadi kepedulian, karena lebih dari 10 tahun pelaku adalah orang terdekat bisa keluarga atau tetangga, artinya mengenal. Di situ anak bermain di lingkungan pasti ada predator,” ujarnya.
Kasus inses pun cukup tinggi, di berbagai tempat di Daerah Lampung, Komnas PA melakukan kerjasama untuk menekan kasus yang sangat tinggi di sana. Pengaduan di sana masih tetap tinggi.
Pelakunya bisa dilakukan oleh orangtua kandung dan orangtua tiri. Sehingga jangan memberikan kelonggaran terhadap laki-laki dewasa mengingat kasus inses tersebut masih tinggi.
Undang-Undang Anak menyebutkan, siapapun yang melakukan kekerasan seksual anak maka pelakunya harus dihukum berat. Karena ini menyangkut kebobrokan moral, dan anak tidak memahaminya.
“Orang dewasa, apalagi punya jabatan kok bisa semena-mena. Jika tidak dikontrol media maka pelakunya bisa bebas, seperti pada kasus di Sumatera dan di berbagai wilayah Indonesia lainnya,” terangnya.
Jika ada sinergi dari berbagai lembaga dan pemerintah, vonis hukum bisa memberikan efek jera kepada pelaku.
Diharapkan, ketika kasus sudah tinggi, anak menjadi korban, masyarakat sudah berani melapor. Preventif, edukasi, sosialisasi, advokasi dilakukan.
Menjadi catatan penting, di dunia pendidikan dapat dilakukan edukasi tentang seksual, dan hanya anak yang boleh menyentuh dirinya sendiri. Menyasar kasusnya ke anak disabilitas, dapat ditambah pada kurikulum pelajaran.
Sejurus terkait Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Komnas PA menyebut ada banyak kendala, seperti halnya dari faktor keluarga, aparat penegak hukum dan pengadilan.
“Jadi setiap ada korban kami minta pelakunya diamankan dulu. Itu penting, ini yang sangat diharapkan masyarakat,” tegas Agustinus.
Namun demikian, UU TPKS tersebut masih berbenturan dengan hukum adat di daerah. Tetapi menurutnya, kekerasan seksual apapun bentuknya pelaku terlebih dahulu harus diamankan. Hal ini untuk memberikan perlindungan anak dan perempuan menjadi korban.
“Karena masyarakat tidak memahami dan belum memahami UU TPKS tentang Perlindungan Anak tersebut. Kami minta seluruh pihak dapat bekerjasama,” jelasnya.
Sementara, Cornelia Agatha, Aktivis Indonesia yang peduli dengan kasus kekerasan dialami perempuan dan anak menjelaskan, permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak ini kian hari semakin komplek. Apakah kasus bully, hingga kekerasan seksual yang masih tinggi di daerah-daerah.
Sehingga dalam mengatasi permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut, sosialisasi hingga kemitraan kelembagaan diperlukan.
“Karena masalah anak ini masalah kita semua, kita tak bisa kerja sendirian. Kami akan kerjasama, sosialisasi, hingga menjalin kemitraan kelembagaan. Konsisten ke depan melakukan sosialisasi, dan pencegahan yang lebih baik. Tapi bukan seperti pemadam,” ujar Cornelia.
Namun, lanjut perempuan cantik itu, dari sisi pencegahan harus didukung sistem perlindungan anak secara kuat dengan dukungan dari pemerintah.
“Kami tak pernah berhenti melakukan inovasi dengan gerakan perlindungan, harus kreatif, betul mengetahui apa yang terjadi di masyarakat, memahami kondisi dan benar bisa saling mengajak semua elemen masyarakat agar memiliki kesadaran,” pungkas Cornelia. (Joesvicar Iqbal)
Komnas PA Peringatkan Awal 2025 Terjadi Banyak Kasus Kekerasan Terhadap Anak: Upayakan Memutus Mata Rantai
