“Jika perubahan tidak direspons dengan cepat, kita bisa menjadi korban dari kebijakan kita sendiri. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga pelaku usaha dan birokrasi, khususnya otoritas pasar keuangan seperti bursa saham dan pasar valuta asing, harus bergerak cepat agar saat krisis terjadi, dampaknya bisa ditekan dan pemulihan bisa berlangsung lebih cepat,” jelasnya.
Aviliani juga menyoroti pergeseran global dari liberalisme menuju proteksionisme, terutama oleh Amerika Serikat, yang mengharuskan Indonesia untuk meningkatkan kapasitas negosiasi bilateral dan kesiapan dalam manajemen risiko lintas kebijakan negara.
“Negosiasi perdagangan antarnegara harus dilakukan secara langsung dan bilateral. Setiap kebijakan internasional yang berubah cepat harus segera direspons. Jangan menunggu. Salah satu contohnya adalah kesiapan Indonesia dalam menanggapi kebijakan tarif dari pemerintahan Trump,” tambahnya.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa strategi menghadapi ketidakpastian tidak bisa dijalankan secara terpisah. Kolaborasi erat antara pemerintah dan dunia usaha menjadi kunci agar arah kebijakan lebih tepat sasaran dan implementatif. Pemerintah juga harus terbuka terhadap masukan dari para pelaku usaha sebagai mitra strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.