Pada sesi pemaparan data lapangan, Ni Made Shellasih, dari Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mempresentasikan hasil survei Air Quality Monitoring di sembilan titik Kawasan Tanpa Rokok di Kota Yogyakarta, meliputi kantor kelurahan, sekolah, puskesmas, hingga restoran.
Hasilnya menunjukkan bahwa di beberapa lokasi seperti restoran pusat kota, tingkat PM2.5 bahkan mencapai kategori ‘beracun’. Pelanggaran berupa aktivitas merokok di area KTR, keberadaan asbak, dan penjualan rokok masih ditemukan.
“Bahkan, satu dari empat orang dewasa dan satu dari sepuluh anak di Yogyakarta adalah perokok aktif. Ini jelas alarm keras bagi kita semua,” ujar Shella.
Dia juga menegaskan bahwa meskipun titik pengukuran berbeda, grafik pembacaan kualitas udara menunjukkan pola serupa. “Artinya, ketika ada tempat khusus merokok di dalam ruangan, polusi asapnya tetap menyebar ke ruangan lain,” tambahnya.
Melengkapi diskusi, Risky Kusuma Hartono, dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) memaparkan pentingnya penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) secara tepat sasaran. Sesuai regulasi terbaru, 40% dana ini harus dialokasikan untuk bidang kesehatan, termasuk edukasi bahaya rokok, pengawasan KTR, dan layanan berhenti merokok.