IPOL.ID- Aparat kepolisian masih terus mengungkap kasus pembunuhan ibu dan putrinya di Subang. Kali ini, Polres Subang
Membongkar makam Tuti Suhartini dan Amalia Mustika Ratu atau Amel untuk kepentingan autopsi lagi.
Dalam autopsi jenazah ibu dan anak itu, Polres Subang mendatangkan dokter polisi ahli forensik, Kombes Sumy Hastry Purwanti.
Dokter polisi ahli forensik Mabes Polri berangkat dari Semarang untuk membantu proses autopsi jenazah Tuti Amel. Ahli foresik Polri yang kini menjabat sebagai Kabiddokkes Polda Jawa Tengah ini mengomandoi pelaksanakaan ekshumasi atau pembongkaran makam dan autopsi jenazah Tuti -Amel.
Dalam Instastory, dokter forensik Hastry membagikan momen kerja tim forensik dalam mengautopsi jenazah Tuti dan Amel.
“Ya ini belum selesai lagi di TKP Subang. Pasti terungkap nih, kita sampai kapan ya lanjut malam ini kayaknya. Kasihan almarhum menunggu, biar tenang di sana ya,” kata dokter Hastry dikutip Minggu 3 Oktober 2021.
Dokter Kombes Hastry bukan dokter sembarangan urusan forensik lho. Profilnya sudah malang melintang terjun dalam urusan autopsi jenazah yang sudah dimakamkan maupun kondisi lainnya.
Salah satunya Dokter Hasty turut terjun pula dalam proses forensik tragedi tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala beberapa bulan lalu.
Dokter Hasty sudah bolak balik menjalani ekshumasi kasus-kasu pembunuhan di berbagai lokasi di Indonesia. Jadi dia kaya pengalaman berbagai petunjuk dalam jenazah korban.
Beberapa bulan lalu dokter Hastry turut pula turun autopsi jenazah satu keluarga dari orang tua anak sampai cucu yang meninggal dalam kasus pembunuhan di Rembang dalang Ki Anom sekeluarga.
Dalam menjalankan autopsi dan forensik jenazah, dokter Hastry ini punya prinsip dead body can talk. Artinya jenazah atau korban itu bisa memberikan petunjuk untuk mengungkap petunjuk-petunjuk penting dalam kasus pembunuhan.
Dokter Hastry mengatakan autopsi itu adalah proses penting dalam membongkar sebuah kasus meninggalnya korban. Dari luka korban meninggal, dokter ahli forensik itu mengungkapkan bisa diketahui apakah pelaku itu betul-betul sadis atan dendam pada korban atau tidak.
“Dari luka tubuh korban bisa dilihat daerah sekitar luka. Kalau luka tidak ada memar, tidak ada pendarahan, tidak ada perubahan warna jadi gelap, itu berarti dia (korban) lukanya didapat setelah dia meninggal dunia, karena kan tidak ada proses metabolisme tubuhnya sudah berhenti,” jelas dia di Youtube Denny Darko dalam menganalisis kasus pembunuhan Rembang.
Luka pada tubuh korban juga bisa mengungkap pelaku ini sesadis apa. Sebab teorinya kenapa kalau korban sudah meninggal, pelaku masih terus menganiaya jasad korban. Berarti itu ada kemungkinan rasa dendam yang mendalam.
“Kalau terus dipukuli dan dianiaya (setelah korban meninggal), jadi kita tahu orang ini sadis banget, ada rasa dendam benci luar biasa. (Temuan) data ini bisa bantu untuk jatuhkan hukuman berat ke dia (pelaku)” kata dia.
Makanya dokter Hastry berpesan kalau menjadi saksi pertama atau setidaknya menemukan adanya kasus pembunuhan, yang harus dilakukan pertama adalah jangan otak-atik TKP. Sebab kalau kondisi TKP diacak-acak maka bisa menghilangkan jejak pelaku atau pun membuat penyidik jadi makin sulit mengolah TKP. Pasalnya TKP itu sangat menentukan cepat atau lambatnya terbongkarnya kasus.
“Jangan diutak atik, jangan dibongkar-bongkar TKP. Kalau takut segera lapor, TKP ditutup dengan tali atau kain. Olah TKP yang baik dan bagus itu, 80 persen kasus terungkap. Pasti pelaku meninggalkan jejak, kita harus hati-hati,” katanya.
Selain itu, dalam kasus pembunuhan, dokter Hastry mengatakan jangan buru-buru membersihkan jenazah, sebab langkah ini justri fatal. “Jangan jenazah dibersihkan cepat-cepat, karena bisa menghilangkan jejak,” katanya.
Dokter Hasty mengungkapkan autopsi jenazah korban itu sangat penting untuk mengungkap bagaimana persisnya pelaku beraksi.
Namun demikian, dokter ahli forensik itu mengatakan autopsi sering terkendala oleh keluarga korban yang menolak jenazah diautopsi atau makam dibongkar.
Padahal dalam kasus korban meninggal tidak wajar, autopsi itu sangat penting dan menentukan.
“Ada banyak kasus keluarga halangin (autopsi) dengan alasan kasihan, sedih secara agama harus segera dimakamkan. Padahal penyidik tergantung pada jenazah korban,” katanya. (bam)