Sementara itu, Ketua Komisi Banding Merek, Teddy Anggoro, mengatakan, ketika UU Merek pertama kali diberlakukan, ada 1,4 juta permohonan merek diajukan kepada pemerintah. “Di Indonesia, merek bersifat konstitutif dan harus didaftarkan. Hak itu muncul ketika sudah ajukan permohonan. Jadi siapa daftarkan pertama maka dia yang dapatkan hak untuk merek tersebut,” katanya.
Teddy juga menyoroti terkait penyelesaian sengketa merek di tingkat pengadilan. Sebab, pertimbangan dan pandangan hakim atas suatu kriteria merek terkenal seringkali berbeda, mengingat bahwa padanya praktiknya, kriteria atas keterkenalan suatu merek bisa saja berpedoman selain dari ketentuan UU Merek dan Permenkumham 67/2016 (misalnya berdasarkan best practice secara global/TRIPS Agreement).
“Apabila ada acuan yang digunakan kurang tepat, misalnya penetapan merek yang memiliki unsur kata umum sebagai merek terkenal, hal tersebut sangat berpotensi menghalangi pihak lainnya dalam menggunakan merek dengan unsur kata umum (descriptive) yang sama, dimanaa secara teori hukum, penggunaan kata umum (descriptive) seharusnya tidak dapat diberikan kepada satu pihak secara eksklusif,” pungkas Teddy. (ydh)