indoposonline.id – Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD mengakui, korupsi sejak zaman orde baru hingga pascareformasi tetap banyak terjadi. Hanya terdapat perbedaan yang menonjol dari perilaku korupsi pada kedua era berbeda tersebut.
Menurut Mahfud MD, pada zaman orde baru terjadi korupsi besar-besaran, tapi terkonsentrasi dan diatur melalui jaringan korporatisme oleh pemerintahan Soeharto. “Korupsinya dulu dimonopoli di pucuk eksekutif dan dilakukan setelah APBN ditetapkan. Ini tak bisa dibantah, buktinya Orde Baru direformasi dan pemerintahan Soeharto secara resmi disebut pemerintahan KKN. Penyebutan itu ada di Tap MPR, UU, kampanye politisi, pengamat, disertasi, tesis, dan sebagainya,” ungkap Mahfud dalam siaran persnya, Rabu (26/5).
Sedangkan, pascareformasi diakuinya korupsi makin meluas. Sekarang ini, atas nama demokrasi yang diselewengkan, korupsi tidak lagi dilakukan di pucuk eksekutif tetapi sudah meluas secara horizontal ke oknum-oknum legislatif, yudikatif, auditif dan secara vertikal dari pusat sampai ke daerah.
“Lihat saja para koruptor yang menghuni penjara sekarang, datang dari semua lini horizontal maupun vertikal,” kata Guru Besar Hukum Universitas Islam Indonesia itu.
“Kalau dulu korupsi dilakukan setelah APBN ditetapkan atas usulan pemerintah, sekarang ini sebelum APBN dan APBD jadi sudah ada nego-nego proyek untuk APBN dan APBD,” sambung Mahfud.
Menteri Pertahanan era Gus Dur ini menengarai, banyak yang masuk penjara karena jual beli APBN dan perda. “Saya bisa menunjuk bukti dari koruptor yang dipenjara saja,” imbuhnya.
Semua itu dilakukan atas nama demokrasi. Pemerintah sendiri tidak mudah untuk menindak karena di dalam demokrasi, pemerintah tidak bisa lagi mengkonsentrasikan tindakan dan kebijakan di luar wewenangnya.
“Situasi ini perlu kesadaran moral secara kolektif, sebab tak satu institusi pun yang bisa menembus barikade demokrasi yang wewenangnya sudah dijatah oleh konstitusi,” papar Mahfud.
Kunci penyelesaian tak cukup hanya dengan aturan-aturan atau jabatan. Karena aturan dan jabatan dibuat melalui apa yang diasumsikan sebagai keharusan demokrasi.
“Jika para aktor demokrasinya bermoral bobrok, maka produk hukum dan pelaksanaannya pun akan bobrok. Hukum itu kan sangat ditentukan oleh moral para aktornya. Itulah tugas kita ke depan,” tambahnya.
Jadi demokrasi tetap yang terbaik, tapi perlu ditata ulang dengan keluhuran moral para aktornya agar yang tumbun adalah demokrasi substansial, bukan demokrasi kriminal.
“Ada dalil yang menyatakan bahwa dalam arti tertentu hukum adalah produk politik, jika moralitas politik bagus maka hukum dan penegakannya akan bagus. Tapi jika moralitas politik jelek maka hukum dan penegakannya juga akan jelek,” ujar Mahfud. (ydh)