Itu tahun 2010. Ketika Lian berumur 73 tahun. Ketika sudah 50 tahun tidak pernah mau tahu lagi tentang Indonesia.
“Waktu itu hujan deras. Dari bandara langsung ke tempat acara,” katanyi. Perbedaan waktu Jakarta-San Francisco yang lebih dari 12 jam membuat Lian kurang enak badan. Dia mengalami apa yang disebut jet lag.
Kedatangan Lian ke Indonesia membawa perubahan drastis pada sikapnyi. Dari membenci ke mencintai. Terutama mencintai bahasa Indonesia. Cinta yang setengah mati. Sampai Lian memutuskan untuk kursus bahasa Indonesia.
Setelah itu, Lian bolak-balik ke Indonesia. Ke banyak kota. Juga ke Bandung —yang melahirkannyi. Tapi, di Bandung dia sudah tidak punya keluarga sama sekali.
Tempat sekolahnyi, SMA Lyceum, masih ada. Sudah banyak berubah. Rumah sakit Boromeus juga masih ada. ”Kosambi berubah menjadi lebih bagus,” katanyi.
”Bagaimana dengan rumah Nana yang ada di cerita novel itu?” tanya saya.
”Entah…,” jawabnyi. Mungkin rumah yang jadi sentral cerita itu memang hanya fiksi.
”Apakah nama Nana itu diambil dari nai nai yang dalam bahasa Mandarin berarti nenek?” tanya saya.