Oleh: DAHLAN ISKAN
BELIAU begitu loyal kepada Pak Harto. Setiap memberi keterangan pers selalu didahului dengan kata-kata ”sesuai dengan petunjuk bapak presiden”.
Itulah ”predikat” yang melekat pada Pak Harmoko: ”menteri petunjuk”. Hebat sekali. Presiden Soeharto begitu percaya pada beliau: menjadi menteri penerangan 14 tahun, menjadi Ketua Umum Golkar, menjadi Ketua DPR/MPR.
Padahal beliau itu sipil. Bukan pula sarjana apalagi profesor –seperti umumnya menteri saat itu. Beliau wartawan yang kemudian menjadi pengusaha pers.
Wartawan itu sulit diatur. Beliau, ternyata, juga orang yang begitu tegar melengserkan Pak Harto.
Memang, demo mahasiswanya yang luar biasa: menduduki gedung DPR/MPR. Sampai bermalam di situ. Mereka menuntut Pak Harto mundur. Ekonomi negara memburuk.
Memang, aparat keamanan yang juga ”hebat”: membiarkan demo mahasiswa itu menduduki DPR/MPR. Bagaimana bisa para jenderal yang begitu loyal membiarkan gedung DPR diduduki.
Tapi semua itu menjadi lebih berarti karena Ketua DPR/MPR H. Harmoko, bikin pernyataan resmi: atas nama rakyat minta Pak Harto mundur.
Waktu itu secara legal DPR/MPR adalah lembaga yang sah mewakili rakyat. Dan Pak Harto selalu menghargai legalitas formal itu. Keesokan harinya, Pak Harto meletakkan jabatan.
Sabtu kemarin Pak Harmoko meninggal dunia. Karena sakit lamanya. Di usia 82 tahun.
Seharusnya saya melayat. Saya termasuk sangat dekat dengan beliau. Sesama wartawan. Sesama pengusaha pers. Sesama Golkar. Mudahan beliau memaafkan saya yang tidak bisa melayat.
Minggu ini begitu banyak teman dekat saya meninggal. Sedih sekali. Begitu banyak juga yang masuk rumah sakit. Seorang pengusaha sangat besar juga lagi di ICU. Kabar gembiranya: Azrul Ananda, anak saya, sudah negatif. Tepat di hari ulang tahunnya, 4 Juli kemarin.
Tentu begitu banyak kenangan saya dengan Pak Harmoko. Berkat hubungan baik saya dengan beliau Jawa Pos bisa selamat. Dan berkembang pesat. Banyak pelanggaran yang saya lakukan beliau biarkan: jumlah halaman melanggar, jumlah iklan melanggar, larangan cetak jarak jauh saya langgar. Diam-diam. Semuanya itu saya selesaikan dengan hubungan baik.
Saat itu menyelamatkan koran sangatlah penting. Mati-hidup koran di tangan menteri penerangan. Wartawan sulit diatur. Sesekali pasti memuat berita yang sensitif. Jawa Pos beberapa kali tergelincir. Saya harus berusaha agar bisa selamat.
Saya ikut gaya pak Jakob Oetama (baca: Yakob Utomo), pemimpin besar grup Kompas. Koran harus selamat –meski kesan negatif melekat pada diri kami: orang yang kompromistis. Kurang memegang prinsip independen.
Saya memang memilih sikap koran harus terus berkembang.
Suatu saat saya harus ”minta petunjuk” Pak Harmoko: akan mengambil alih harian Merdeka Jakarta. Yang legendaris itu.
Tanpa restu menteri penerangan hal itu akan bahaya.
Sebenarnya kata ”mengambil alih” kurang tepat. Bapak BM Diah-lah yang meminta saya mengelola koran tertua di Indonesia yang masih hidup saat itu. Beliau adalah pemilik koran itu. Beliau tokoh besar pers Indonesia. Mantan ketua umum PWI Pusat. Mantan menteri penerangan. Beliau sakit-sakitan. Harian Merdeka terancam mati.
Pak Harmoko tidak langsung memberikan restu. Tapi juga tidak langsung memberi isyarat menolak. Sebagai sesama Jawa saya harus tahu membawa diri: saya beralih ke pembicaraan lain.
Seminggu setelah lapor itu, saya dipanggil Pak Harmoko. “Bagus,” kata beliau. “Nanti yang jadi pemimpin umumnya xxxx,” kata beliau, menyebut satu nama.
Ganti saya yang tidak langsung bereaksi. Sambil tetap tersenyum saya manggut-manggut. Saya tidak mengucapkan kata apa pun. Lalu mengalihkan pembicaraan ke soal lain.
Keluar dari ruang kerja beliau saya pusing. Orang yang ditunjuk menjadi pemimpin umum harian Merdeka yang baru nanti saya kenal. Politisi. Loyalis. Bukan pengusaha. Bukan wartawan.
Maka saya harus cari akal untuk menolak nama itu. Harus dengan cara yang benar –cara Jawa. Saya kan ingin koran itu maju. Kalau nama itu yang tampil menjadi pemimpin umumnya pasti sulit berkembang. Koran itu nanti akan terasa terlalu Golkar. Saya pun memutuskan untuk sementara tidak bertemu Pak Harmoko lagi. Biar beliau lupa dulu.
Lalu datanglah ide baik. Pak Harmoko itu kan nasionalis. Beliau pernah menjadi aktivis GSNI –Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia. BM Diah itu juga nasionalis. Soekarnois. Harian Merdeka itu sangat nasionalis. Pak Harmoko pernah berkarir di harian Merdeka. Sebagai wartawan dan karikaturis.
Akhirnya saya bertemu Pak Harmoko. Saya bilang dengan nada yang amat sangat sopan. Dengan dua tangan ngapurancang. Dengan mata menatap ke lantai.
“Pak Harmoko, semua koran sekarang ini kan sudah Golkar. Bagaimana kalau tetap ada satu koran yang nasionalis. Satu saja. Biar kesannya tetap baik. Saya janji akan menjaganya. Kami kan tahu batas,” kata saya.
Pak Harmoko diam sejenak. Lalu: ”Ya sudah, Dik Dahlan atur”.
Pak Harmoko sering menyebut diri sebagai orang pergerakan. Beliau bergerak terus. Jadi pemimpin terus. Beliau menjadi ketua PWI Jakarta. Lalu, ketika PWI Pusat pecah –ada kubu Ketua Umum BM Diah dan kubu Ketua Umum Rosihan Anwar– Pak Harmoko yang kemudian tampil sebagai pemenang. Dua tokoh pers itu saling mengklaim sebagai ketua umum yang sah. Pak Harmoko yang menjadi ketua umum tunggal berikutnya.
Beliau teguh. Termasuk menghadapi penilaian negatif pada dirinya. Misalnya ketika beliau mendirikan koran Pos Kota. Koran jenis baru di Indonesia saat itu. Kecaman datang bertubi-tubi. Setengah melecehkan. Kok bikin koran kuning seperti itu.
Tapi Pak Harmoko teguh. Di seluruh dunia koran seperti itulah yang oplahnya paling besar. Dan beliau benar. Pos Kota menjadi koran terbesar di Jakarta –secara oplah. Iklan mininya berhalaman-halaman. Menjadi kaya. Bikin percetakan modern. Bikin koran-koran lainnya lagi. Termasuk harian Surya di Surabaya –yang kemudian diambil alih grup Kompas.
Jenis korannya itulah yang membuat Pak Harmoko kurang dikesankan sebagai wartawan intelektual.
Tapi beliau itu memang sangat kaya ide. Dan selalu mengerjakan idenya itu. Beliau seperti kipas angin –berputar terus. Banyak yang mengatakan beliau itu tidak punya pusar –istilah Jawa untuk menggambarkan orang yang tidak pernah istirahat.
Banyak sekali langkah beliau sebagai menteri penerangan. Istilah ”sambung rasa” sangat terkenal. Ada pula ”kelompencapir”: kelompok pendengar (radio), pembaca (koran), dan pemirsa (TV). Ada juga koran masuk desa. TV masuk desa. Dan yang abadi adalah: Safari Ramadan.
Beliau juga sangat cinta budaya Jawa. Beliau bisa mendalang wayang kulit. Bisa menulis geguritan – -puisi berbahasa Jawa.
Beliau sedih ketika majalah berbahasa Jawa kian redup. Beliau minta agar saya menghidupkan majalah berbahasa Jawa, Jayabaya (baca: Joyoboyo). “Kita ajak nanti seluruh redaksi Jayabaya rapat. Saya akan hadir. Nanti rapatnya harus pakai bahasa Jawa,” kata beliau.
Beliau pun ke Surabaya. Seluruh awak Jayabaya berkumpul. Saya yang memimpin rapat itu. Saya menggunakan bahasa Jawa sepenuhnya. Sesuai dengan petunjuk beliau.
Lalu saya mempersilakan beliau berpidato. Memberikan arahan. Beliau pun mulai berpidato menggunakan bahasa Jawa. Kian lama kian seret. Lalu mulai kecampuran bahasa Indonesia. Dan akhirnya beliau menyerah. “Huh…” kata beliau… “sulit juga ya…”.
Tentu saya juga beberapa kali ke desa Patihan Rowo di utara kota Kertosono. Itulah tempat kelahiran beliau. Persis di seberang pabrik gula yang kini sudah mati. Sering ada acara di situ.
Tapi saya tidak menyangka beliau lantas mendirikan pesantren tidak jauh dari rumah kelahirannya itu. Bagus sekali. Bangunan fisiknya modern. Beliau mengangkat salah seorang alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo untuk menjadi pimpinan. Beliau sangat terkesan dengan sistem pendidikan di Gontor.
Tapi beliau juga orang yang suka ”nglakoni”. Yakni menjalankan olah jiwa secara Jawa: ke makam, tirakat, ke tempat keramat, dan berpuasa. Beliau hampir selalu puasa Senin-Kamis.
Saya pernah diajak ke tempat seperti itu. Ke sebuah air terjun di gunung. Yang di bawahnya ada sendang (danau mini). Kami harus kungkum (berendam) di sendang itu. Harus jam 00.00. Tengah malam. Sunyi. Sepi. Dingin.
Yang membuat saya panik: beliau kejang di dalam sendang itu. Kami membopongnya keluar dari air. Saya juga kedinginan. Dingin sekali. Pak Harmoko harus selamat. Beliau orang yang begitu penting di jagat politik nasional saat itu.
Tapi kami tidak berani membawa beliau ke rumah sakit. Itu akan menghebohkan. Terlalu sensitif untuk tokoh politik yang begitu sentral. Maka kami membawa beliau ke rumah seorang dokter.
Beres. Aman. Beliau segar kembali. Tidak ada satu wartawan pun yang mendengar. Sampai sekarang.
Saya juga pernah ikut Safari Ramadan. Dari Bandung sampai Banyuwangi. Lewat jalur selatan. Dipilih jalur selatan karena dianggap wilayah itu kurang mendapat kemajuan –dibanding sisi utara Jawa.
Tiap hari jalan darat. Naik mobil. Siang. Malam. Dari satu kota ke kota berikutnya. Tiap hari pukul 02.30 sudah bangun. Harus pergi ke pesantren. Makan sahur di situ. Diteruskan dengan sambung rasa. Dengan warga pesantren.
Beliau memberi pidato di situ. Lalu salat Subuh bersama. Lantas jalan ke kota berikutnya. Sambung rasa lagi. Pidato lagi. Jalan lagi. Terus seperti itu. Dari satu acara ke acara berikutnya. Jalan terus. Pidato terus. Pun sampai habis tarawih. Masih diteruskan rapat dengan pengurus Golkar setempat. Sampai jam 12.00 malam.
Beliau hanya tidur 2 jam. Kami bisa tidur lebih banyak –termasuk saat beliau berpidato. Mata beliau terlihat selalu merah. Selama hampir satu bulan Ramadan penuh.
Sukses. Golkar menang terbesar di Pemilu setelah itu.
Nama Harmoko pun mulai disebut-sebut sebagai salah satu calon wakil presiden. Waktu itu cita-cita tertinggi politikus adalah menjadi wakil presiden –karena presiden berikutnya pasti Pak Harto lagi.
Pak Harmoko habis-habisan mengambil hati Pak Harto. Mulai dari prestasi sampai pidato-pidatonya. Di tahun kejatuhan Pak Harto itu pun pak Harmoko-lah yang pertama melontarkan bahwa rakyat masih tetap menghendaki Pak Harto untuk terus menjabat presiden. “Saya sudah keliling seluruh pelosok Indonesia. Semua rakyat menghendaki Pak Harto lagi,” begitu kurang lebih kata-kata Pak Harmoko ketika itu.
Ternyata Pak Harto lebih memilih Pak B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Pak Harmoko ”dibuang” ke jabatan ketua DPR/MPR.
Lalu terjadilah reformasi itu.
Pasca reformasi, Pak Harmoko sangat pandai membawa diri: diam. Tidak pernah bersuara. Tidak pernah tampil. Sekali saja beliau ingin ikut partai baru. Saya lupa namanya. Tapi tidak berlanjut. Diam lagi.
Saya masih beberapa kali bertemu beliau. Terakhir sekitar 3 tahun lalu. Beliau sudah sakit-sakitan. Jalannya sangat-sangat-sangat pelan. Tapi ingatan beliau tetap sangat baik. Dan encepan bibirnya masih khas Pak Harmoko. (Ada satu tokoh lagi yang kalau mencep sangat khas: Bu Mega).
Saya masih terus mengamati: bagaimana Pak Harmoko akan ditempatkan dalam sejarah Indonesia modern. Ia dibenci kelompok anti-Soeharto pada zamannya. Ia dibenci keluarga Soeharto pada akhirnya. (*)