indoposonline.id – Dunia kembali digemparkan dengan kehadiran varian baru dari COVID-19. Namanya, varian Lambda. Varian ini membawa sejumlah mutasi yang berpotensi membantu penyebarannya lebih mudah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menjelaskan, varian Lambda juga dikenal sebagai C.37. Varian ini pertama kali terdeteksi di Peru pada Agustus 2020. Setahun kemudian, yakni 14 Juni 2021, WHO menetapkan C.37 sebagai “varian minat” global, atau VOI, dan menamakannya Lambda.
VOI berarti varian tersebut semakin muncul di masyarakat dan memiliki mutasi yang diperkirakan memiliki beberapa efek pada karakteristik virus, seperti peningkatan penularan. Sebaliknya, para pejabat menggunakan istilah “varian perhatian” atau VOC, setelah data yang dapat diandalkan menunjukkan varian tersebut telah meningkatkan transmisibilitas seperti yang terlihat pada varian Delta.
Sejauh ini Lambda telah terdeteksi di 29 negara, dengan tingkat penyebaran yang tinggi di negara-negara Amerika Selatan. Dalam beberapa bulan terakhir, varian Lambda terdeteksi pada 81% kasus COVID-19 di Peru yang menjalani sekuensing genetik, menurut WHO. Dan di Chili, varian itu terdeteksi pada sekitar sepertiga kasus di sana.
Baru-baru ini, varian tersebut muncul di Inggris Raya. Pada 25 Juni, Public Health England melaporkan enam kasus varian Lambda, yang semuanya terkait dengan perjalanan ke luar negeri.
Pejabat sedang memantau varian Lambda karena membawa sejumlah mutasi yang berpotensi membantu penyebarannya. Varian ini memiliki tujuh mutasi pada “protein lonjakan” virus dibandingkan strain asli SARS-CoV-2 yang terdeteksi di Wuhan, China.
“Beberapa dari mutasi ini berpotensi meningkatkan penularan virus atau mengurangi kemampuan antibodi tertentu untuk menetralisir, atau menonaktifkan virus,” menurut WHO.
Misalnya, Lambda memiliki mutasi yang dikenal sebagai F490S yang terletak di domain pengikat reseptor (RBD) protein lonjakan, tempat virus pertama kali berlabuh ke sel manusia. Sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal Genomics edisi Juli mengidentifikasi F490S sebagai kemungkinan “mutasi lolos dari vaksin” yang dapat membuat virus lebih menular. Juga mengganggu kemampuan antibodi yang dihasilkan vaksin untuk mengenali variannya.
Namun, efek ini bersifat teoretis pada saat ini. “Saat ini tidak ada bukti bahwa varian ini menyebabkan penyakit yang lebih parah atau membuat vaksin yang saat ini digunakan menjadi kurang efektif,” ungkap Public Health England. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk melihat apakah mutasi ini benar-benar memengaruhi perilaku virus.