Oleh : Dahlan Iskan
Ia ada di dalam, tapi tidak sampai menjadi orang dalam. Itulah Sarwono Kusumaatmadja. Yang 24 Juli besok berulang tahun Ke-77.
Saya baru selesai membaca buku memoarnya: Menapak Koridor Tengah. Ini salah satu memoar yang enak dibaca. Enak dalam pengertian lahir batin. Gaya tulisan memoar ini mengalir dengan sangat baik. Isinya tidak membuat mual –tidak ada puji-puji diri yang berlebihan.
Yang diungkapkan di buku ini juga lebih banyak sisi-sisi manusiawi. Hampir semua nama politikus disebut di dalamnya. Itu menandakan karir politik yang panjang dalam kehidupan Sarwono. Maka, meski ini buku politik, tapi banyak mengandung unsur yang menghibur.
Misalnya ketika akan diangkat menjadi sekjen Golkar. Ia tahu info itu di sebuah pertemuan yang diadakan oleh Jenderal Benny Moerdani. “Nanti Golkar itu harus semakin mandiri. Itu akan tergantung siapa sekjennya. Tuh, calon sekjennya, yang duduk di belakang itu,” ujar Benny. Kurang lebih.
Ketika akhirnya benar-benar jadi sekjen, Sarwono pun dianggap orangnya Benny Moerdani, Panglima ABRI.
Sarwono adalah orang sipil pertama yang menjadi sekjen Golkar. Anak muda pula. Mantan ketua Dewan Mahasiswa pula. ITB pula.
Suatu saat Sarwono ingin tahu mengapa Benny mendukungnya. “Yang mau itu Pak Harto. Bukan saya,” ujar Benny. “Saya hanya mengamankan putusan Pak Harto.”
Suatu saat, Benny yang pelit bicara dan pelit senyum itu, diminta menyelidiki siapa Sarwono. “Apakah tidak pernah merasa selalu dibuntuti orang?” tanya Benny.
Sampai di situ Sarwono belum kenal Soedharmono, Mensesneg yang diplot menjadi ketua umum Golkar. Tapi ia mendengar Pak Dhar itu orangnya rapi, disiplin, teratur, detail. Juga orang yang sangat dipercaya Pak Harto.
Maka ketika pertama akan menemui Pak Dhar, Sarwono potong rambut, pakai baju safari yang disetrika, mengelap sepatu, dan memeriksa apakah warna kaus kakinya sudah sama.
Sebelum berangkat ke Setneg, ia mengelap rambutnya dengan minyak kelapa. Ia tidak pernah punya minyak rambut. Sekjen baru ini pun tampil beda: rapi dan tidak terlihat gondrong.
“Baru cukur rambut ya,” komentar Pak Dhar.
“Dan kaus kaki saya warnanya sama,” celetuk Sarwono.
Masa remajanya di asrama sekolah di Inggris membuat Sarwono punya gaya humor model Inggris.
“Emangnya pernah tidak sama?” tanya Pak Dhar.
Sarwono pun menceritakan peristiwa kaus kaki yang tidak sama sebelumnya.
“Tapi warna baju dan celanamu masih tidak sama. Di sini harus sama,” ujar Pak Dhar.
Waktu itu Sarwono pakai baju safari warna biru muda dengan celana biru tua.
Pertama ke kantor DPP Golkar, Sarwono melihat ada teknisi di ruang kerja sekjen.
“Kami diminta pasang tombol ini, Pak,” ujar teknisi itu. “Kalau Pak Dhar ingin panggil bapak atau bapak ingin panggil wasekjen, lewat tombol ini,” ujar teknisi tersebut.
“Saya tidak mau. Masak panggil orang pakai ting-tong,” ujar Sarwono. “Bongkar,” tambahnya.
Jiwa egaliternya sebagai mantan aktivis mahasiswa masih melekat.
Ia melihat masih ada empat tombol lain. “Itu untuk memanggil para wakil sekjen,” ujar teknisi.
“Ini nanti juga harus dibongkar,” ujar Sarwono.
Tapi Sarwono ingin mencoba dulu. Maka ia pencet empat tombol itu. Tiga orang wakil sekjen datang ke ruang kerjanya. Ada Akbar Tanjung, Oka Mahendra, dan David Napitupulu.
“Lho kalian ini mau ya dipanggil pakai ting-tong,” ujar Sarwono kepada mereka –dengan nada meledek. Merasa dikerjai mereka itu, semua balik memaki-maki Sarwono. Mereka sesama mantan aktivis mahasiswa. Sejak itu tidak ada lagi hierarki atasan bawahan.
Meski sudah masuk lingkaran kekuasaan, Sarwono masih berani membela Jenderal H.R. Dharsono. Secara terbuka. Padahal Dharsono lagi sangat dibenci Pak Harto.
Sarwono juga berani mengatakan soal ting-tong itu ke Pak Dhar, ketua umumnya: ia tidak mau dipanggil lewat ting-tong.
Periode itu, Golkar ingin berubah. Lebih sipil. Lebih muda.
Tapi di periode itu pula istri Sarwono sakit. Kanker payudara. Stadium 4.
Saat itu, di ABRI sendiri lagi ada keinginan agar Golkar tidak terus mengandalkan ABRI.
Sarwono tetap penasaran mengapa dipilih jadi sekjen. Ia bertanya lagi. Tapi juga tidak bisa mendapat jawaban dari sang ketua umum.
Seperti juga Benny Moerdani, Pak Dhar mengatakan, ”tanya sendiri saja langsung ke Pak Harto”.
Ketika akhirnya Sarwono untuk kali pertama diangkat sebagai menteri, ia punya alasan untuk menghadap presiden. Sebagai menteri Pendayagunaan Aparatur Negara ia minta menghadap. Langsung dikabulkan.
Bahkan seminggu sekali Sarwono bisa bertemu Pak Harto. Selalu disediakan waktu malam hari. Selalu di kediaman Jalan Cendana. Selalu cukup lama.
Dalam setiap pertemuan itu, selalu saja Pak Harto yang banyak berbicara. Soal macam-macam. Justru tidak pernah bicara apa yang diinginkan Sarwono: apa keinginan presiden di bidang penertiban aparatur negara.
“Kenapa Pak Harto begitu?” tanya Sarwono kepada Pak Dhar yang sudah jauh lebih lama dekat dengan Pak Harto.
“Itu pertanda situ lagi dijajaki apakah bisa menjadi orang dalam,” jawab Mensesneg.
Setelah tahu itu, Sarwono memutuskan: tidak mau menjadi orang dalam Pak Harto. Ia ingin tetap dekat tapi ada jarak.
Sarwono memang menjadi menteri sekali lagi: Menteri Lingkungan Hidup. Kementerian itu, juga kementerian sebelumnya, dianggap bukan kementerian inti di zaman pertumbuhan ekonomi menjadi panglima.
Di akhir zaman Pak Harto, kian jelas posisi Sarwono. Ia selalu pakai pita hitam di bajunya. Yakni ketika mahasiswa Trisakti mati tertembak, Mei 1998. Waktu itu ekonomi negara sedang merosot drastis. Mahasiswa mulai bergerak: turunkan Pak Harto.
Pita hitam itu jadi persoalan besar ketika SCTV mengundang Sarwono ke studio. Sarwono diwawancarai mengenai bagaimana mengatasi keadaan yang memanas di Jakarta.
Ketika masuk studio, ternyata Sarwono masih mengenakan pita hitam. SCTV minta agar pita itu dilepas. Setidaknya selama wawancara live. Sarwono tidak mau. Pilih acara dibatalkan.
Tidak bisa lagi. Waktu sudah mepet. Kalau wawancara batal akan diisi apa. Tidak cukup waktu mencari pengganti.
Apa boleh buat.
Tampil live dengan pita hitam itu saja sudah provokatif –untuk situasi saat itu. Apalagi isinya. Sarwono mengatakan keadaan ini sudah sulit diatasi.
Satu-satunya cara harus cabut gigi. Gigi itu harus dicabut. Tidak bisa lagi ditambal-tambal. Yang dimaksud gigi itu, Anda sudah tahu, Pak Harto. Anda pun masih ingat siapa yang mewawancarai Sarwono saat itu: Ira Kusno yang cantik itu.
Pernyataan cabut gigi Sarwono seperti komando gerakan mahasiswa di lapangan. Mereka bergerak menduduki DPR. Tapi buku ini belum menceritakan periode itu –meski sudah ada foto Ira Kusno di dalamnya.
Mungkin di buku berikutnya. Jangan-jangan terbit besok pagi, tepat di ulang tahun Sarwono yang lahir 24 Juli 1943. Kue tart-nya tidak perlu pakai pita hitam. Lagi sensitif.(Dahlan Iskan)