indoposonline.id – Serikat Pekerja di sektor ketenagalistrikan menolak rencana program holdingisasi terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) oleh Kementerian BUMN.
Pasalnya, dalam holdingisasi tersebut, ada rencana beberapa perusahaan BUMN dan Anak Perusahaan BUMN akan digabungkan, antara lain PT PLN (Persero) PT Geo Dipa Energi, PT Pertamina Geothermal Energy, dan PT Indonesia Power.
“Masalahnya, rencana Holdingisasi PLTP ini akan menjadikan PT Pertamina Geothermal Energy (PT PGE) sebagai Holding Company-nya. Padahal merujuk pada pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi terkait dengan Putusan judicial review UU Ketenagalistrikan, untuk usaha ketenagalistrikan maka yang menjadi Holding Company-nya adalah PT PLN,” kata Sekjen Persatuan Pekerja Indonesia Power (PP IP), Andy Wijaya dalam konferensi pers virtual, Selasa (27/7).
“Mahkamah juga berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN. Tapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai holding company satu,” jelas Andy.
Selain itu, Serikat Pekerja juga mempermasalahkan holdingisasi PLTU milik PT PLN, PT Indonesia Power, dan PT Pembangkitan Jawa Bali. Saat ini, rencana holdingisasi PLTU ini memasuki posisi pengumpulan data-data. Tetapi ditengarai pengumpulan data hanya asset-aset PLTU yang ada di area di Pulau Jawa.
“Terkait rencana holdingisasi PLTP maupun PLTU, bila bukan PT PLN yang menjadi Holding Company-nya, maka SP PLN Group tegas akan menolak karena berpotensi timbulnya pelanggaran terhadap makna penguasaan negara sesuai konstitusi,” tegas Andy.
PLN, menurutnya, sampai saat ini telah terbukti menyediakan listrik secara
affordable dan terjangkau bagi masyarakat. “Untuk informasi, biaya BPP pembangkitan daerah Jawa merupakan harga BPP tahun 2018 paling rendah yaitu di kisaran Rp. 984-989,-/kWh.2,” tuturnya.
Selain itu, PLN dan anak perusahaannya juga terbukti mampu mengoperasikan dan mengelola PLTP selama 39 tahun (PLTP Kamojang, Gunung salak dan Darajat) dan hal ini di buktikan dengan kinerja yang
handal. “Sehingga menjadi pertanyaan kenapa induk Holdingnya diserahkan ke pihak lain yang minim pengalaman dalam pengelolaan PLTP?,” ketusnya.
Selain mengholdingisasi PLTP dan PLTU, lanjut Andy, Kementerian BUMN juga diduga berniat untuk melakukan Initial Publik Offering (IPO) terhadap usaha-usaha ketenagalistrikan yang saat ini masih dimiliki oleh PLN dan anak usahanya.
“Padahal, IPO pada dasarnya menjual saham yang dimiliki suatu perusahaan kepada pihak lain (swasta). Dengan kata lain, ini adalah bentuk privatisasi atau masuknya kepemilikan privat (perorangan/badan) ke dalam saham perusahaan,” tegasnya.
“Merujuk pada ketentuan yang ada, tenaga listrik termasuk ke dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga BUMN yang bergerak di bidang ketenagalistrikan termasuk persero yang tidak dapat diprivatisasi,” tegas dia.(ydh)