indoposonline.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) terus menggali keterangan sejumlah pihak terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Tak terkecuali, keterangan EKP selaku Kepala Sub Bidang Produk Hewan Ekspor Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian RI.
Keterangan anak buah Mentan Syahrul Yasin Limpo itu digali oleh penyidik saat menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Gedung Tindak Pidana Khusus Kejagung, Kamis (12/8).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, keterangan EKP diperlukan untuk kepentingan penyidikan kasus tersebut. “Khususnya untuk mencari alat bukti dan menemukan fakta hukum,” jelas Leonard di Jakarta, Kamis (12/8) malam.
EKP diperiksa terkait dengan penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI kepada sembilan debitur, yang di antaranya, ada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha dan PT Cipta Srigati Lestari. Selain itu ada pula PT Lautan Harmoni Sejahtera dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.
Proses penyelenggaraan pembiaayaan ekspor nasional tersebut diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik. Untuk itu, penyidik mendalami sejumlah prosedur yang dilampirkan oleh sembilan debitur tersebut.
“Seperti prosedur keluar masuk sarang burung walet serta pengecekan kebenaran atas sertifkat sanitasi yang dilampirkan oleh debitur,” jelas Leonard.
Akibat proses penyelenggaraan pembiayaan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik itu, maka pembiayaan kepada para debitur sesuai laporan sistem informasi manajemen resiko per 31 Desember 2019, dalam posisi colektibility 5 (macet). Sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39%.
“Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian dikarenakan adanya pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN),” kata Leonard.
Selanjutnya berdasarkan statement dilaporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN untuk meng-cover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan yang disebabkan oleh kesembilan debitur tersebut.
“Salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah S, Dirut dari tiga perusahaan Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia,” paparnya.
Namun pengusul dari LPEI yang terdiri dari Kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis, dan Komite Pembiayaan diduga tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.
“Akibatnya menyebabkan debitur, yakni Group Wallet yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dikategorikan Colectibity 5 (macet), sehingga gagal bayar sebesar Rp683,6 miliar yang terdiri dari nilai pokok Rp576 miliar ditambah denda dan bunga Rp107,6 miliar,” tutup Leonard. (ydh)