“Kalau Toa itu hanya di dalam masjid tidak apa-apa. Tapi kan dipasang di atas masjid, kedengaran siapa saja,” kata yang Kristen. Apalagi kalau masjid itu di kampung yang penduduknya multiagama.
Setelah lebih dari empat jam mengikuti channel seperti itu saya mblenger. Ketakutan. Ngeri. Jenuh. Kapok.
Sejak tadi malam saya tidak mau lagi membuka channel seperti itu. Miris. Hati saya menjadi tidak damai. Padahal saya ini tidak boleh lupa bahagia –hampir saja saya lupa.
Saya juga merenung: apa untungnya membuka channel seperti itu. Apa untungnya melihatnya. Apa manfaatnya bagi bangsa.
Saya saksikan di situ, sulit sekali bisa bersepakat. Tidak ada pendapat yang bisa bertemu. Saling klaim. Saling benar. Saling mau menang.
Saya miris. Ngeri.
Tapi di negeri seperti Amerika yang seperti itu biasa saja. Tidak sensitif.
Jangan-jangan ada baiknya juga yang seperti itu mulai dibuka di Indonesia. Asal tidak berantem. Biar mulai terbiasa. Toh yang seperti ini tidak bisa juga terlalu dibendung. Siapa pun bisa bikin channel seperti itu. Kalau tidak bisa dari Indonesia bisa dari negara mana saja, dengan bahasa Indonesia.