Orang tua saya sebenarnya tidak mendidik saya untuk membenci Pak De. Orang tua selalu mengajarkan untuk menghormati orang yang dituakan. Tapi saya pernah mendengar –sebagai anak kecil– orang tua yang sedang ngobrol dengan kakak saya yang sudah dewasa: betapa ibu saya menderita akibat Pak De.
Pun itu hanya cerita. Obrolan. Semacam rerasan –mungkin disebut curhat di zaman sekarang. Atau kelasnya lebih rendah dari curhat. Mungkin hanya karena tidak ada bahan omongan lain. Padahal orang itu kalau lagi duduk-duduk harus saling bicara. Di desa duduk-duduk memang bisa lebih banyak dari sibuk-sibuk.
Baik mana: lebih banyak bisa duduk-duduk yang membuat keluarga berinteraksi atau lebih banyak sibuk sampai tidak bisa memperhatikan keluarga?
Dalam kasus mengobrolkan Pak De itu jelas pengaruhnya pada saya: jadi membenci Pak De. Padahal orangtua saya sendiri, dalam kehidupan sehari-hari, saya lihat, bersikap sangat hormat pada Pak De.
Hanya saja ayah saya selalu merasa tidak enak di setiap bulan puasa. Ia harus menggantikan Pak De jadi imam shalat tarawih –karena hafalan ayat-ayat kitab sucinya lebih banyak. Dengan demikian di 27 rakaat itu –unit gerakan dalam shalat– bisa selalu menampilkan surah –kumpulan sejumlah ayat– yang berbeda.