IPOL.ID – Indonesia termasuk dalam klasifikasi sebagai negara yang mengalami middle income trap.
Middle income trap, sebuah istilah yang mengacu pada keadaan ketika sebuah negara berhasil mencapai ke tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju.
“Negara yang terjebak dalam middle income trap disebabkan oleh sejumlah faktor yaitu kurangnya perlindungan sosial, rendahnya infrastruktur, kurangnya kemandirian pangan, birokrasi, kurangnya profesionalisme, dan kurangnya supremasi hukum,” ujar Dr. Iin Mayasari Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Paramadina dalam webinar, Rabu (22/9).
Menurut Iin, negara berpenghasilan menengah (MIC) tidak hanya mengalami kesulitan untuk bersaing dengan low-wage countries, tetapi juga kesulitan untuk bersaing dengan high-technology countries.
Pada pertengahan 2020, Indonesia berada pada upper middle income country. Pada Juli 2021, Indonesia kembali ke lower middle income country.
“Hal ini ditunjukkan dengan adanya GNI Indonesia di tahun 2020 turun menjadi USD 3.870 yang sebelumnya USD 4.050. Indikator hal tersebut adalah perubahan indikator dari kelas menengah atas, pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan populasi,” ujar Iin.
Rektor Universitas Paramadian Prof. Didik J. Rachbini mengatakan, dikarenakan krisis Indonesia turun lagi menjadi negara berpendapat menengah bawah karena pendapatan per kapita turun di bawah batas USD 4045 dollar.
“World Bank mengklasifikasikan negara berpendapatan menengah bawah atau Lower middle income (pendapatan menengah ke bawah), antara USD 1.036 hingga 4.045. Sementara itu, kelompok negara berpendapatan menengah atas atau Upper middle income (pendapatan menengah ke atas), antara USD 4.046 hingga USD 12.535,” terangnya.
Negara yang tidak bisa menerobos menjadi negara maju berpendapatan tinggi dan terus terjebak sangat lama dalam pendapatan di bawah USD 12 ribu per kapita akan mengalami banyak masalah ekonomi dan sosial politik.
“Tingkat kemiskinan masih tinggi diikuti oleh kesenjangan yang lebar. Ini memicu masalah sosial dan stabilitas politik yang rapuh,” ujar Didik.
Menurut Didik, kebijakan ini pernah dijalankan oleh Indonesia pada tahun 1980-an dan 1990-an dan menghasilkan tingkat pertumbuhan 7 persen rata-rata per tahun. Tetapi sayang itu tidak berlanjut sekarang karena tingkat pertumbuhan stagnan di tingkat 5 persen atau di bawahnya.
Kekuatan ekonomi, lanjut Didik diukur dengan seberapa jauh Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. “Karena itu, kemampuan ekspor harus kuat dengan produk-produk industri bernilai tambah tinggi – bukan ekspor bahan mentah seeperti sekarang, industrialisasi dan hilirisasi perlu dikuatkan,” katanya. (rob)