“Gambaran ini menunjukan bahwa terminal bayangan dari aspek keamanan, kenyaman dan kepastian keberangkatan tidak dapat menjamin,” tutur dia.
Kemudian lanjutnya, problem lainnya, harga ticket dipastikan akan lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan ticket yang berada di terminal resmi.
Selain itu, dari aspek regulasi bahwa sebutan terminal bayangan juga tidak ada, sehingga terminal bayangan dianggap tidak resmi dan melanggar aturan.
“Karena tidak resmi berarti tidak memberikan kontribusi dalam bentuk restribusi sebagai salah satu sumber PAD,” ungkap Budiyanto.
Kemudian regulasi yang mengatur tentang terminal sudah cukup memadai, misalkan Undang-Undang No. 22 tahun 2008 tentang LLAJ, Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2013 tentang jaringan lalu lintas dan angkutan umum, Peraturan Menteri No. 132 tahun 2015 tentang penyelenggaraan terminal penumpang angkutan jalan, dan peraturan lainnya.
Lalu kenapa terminal bayangan dapat terjadi pada titik-titik ruas penggal tertentu di lima wilayah DKI Jakarta? diduga ada alasan-alasan pragmatis untuk mendapatkan penumpang dengan cepat dan menghindari restribusi, tanpa memperhatikan aspek- aspek lainnya.