IPOL.ID – Abaikan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang melakukan pembangkangan atas Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 26 Tahun 2021, tiga kementerian yang mengurusi Migas, dalam hal ini Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan, dipandang setengah hati menjalankan niatan Presiden Joko Widodo yang menargetkan energi terbarukan mencapai 23 persen pada tahun 2025 serta Net Zero Emission di tahun 2060.
Pakar ekonomi politik Salamudin Daeng menilai, saat ini para pemain tambang energi fosil masih memasinkan pengaruhnya terhadap kekuasaan. Hal tersebut telah membelenggu langkah pemerintah sesuai dengan komitmen saat COP 26 di Glasgow pada tahun 2021, yang merupakan kelanjutan dari Paris Agreement 2015 lalu, mengenai penurunan emisi. Kurang kuatnya tekanan publik terhadap tiga kementerian ini untuk melakukan transisi energy, memperparah kondisi tersebut.
“Indonesia ini agak setengah hati negaranya. Di lapisan atas dikuasai pemain energi primer, seperti batubara, gas dan minyak. Lapisan atas ini gak serius. PLN sebenarnya kan bergantung pada Menteri ESDM, BUMN dan menkeu. Tiga menteri ini sangat besar andilnya bagaimana PLN bisa cepat transisi energi,” jelas Salamudin, Selasa (12/04/2022).
Secara ekonomi politik, peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ini memandang pengusaha batubara masih menguasai jantung ekonomi di Indonesia. Bandar batubara disebutnya menjadi penopang kekuasaan saat ini. Semetara publik terus dibuai dengan pemahaman melimpahnya batubara sehingga tidak perlu menggunakan energi matahari.
“Itu tidak benar, eksploitasi batubara merusak alam. Bila pemerintah tidak bisa menggeser, maka bauran energi Indonesia itu akan gagal ketika datang (bauran energi) ke PLN, dihalangi dari atas. Dari atas tidak dijalankan dengan serius,” ucapnya.
“Apakah PLN membangkang? Pasti tekanan dari atas. Kalau menteri BUMN sudah perintahkan, pasti tidak akan berani. Kemudian di atas, bila bandar-bandar tidak punya pengaruh ke kekuasaan pasti akan dijalankan.
Saatnya Transisi Energi Dimulai
Lebih jauh Salamudin menekankan, pemanfaatan batubara sebagai energi primer tidak memberikan manfaat lebih kepada rakyat. Dari sektor pemasukan negara terhadap batubara misalnya, disebut Salamudin tidak sampai 10 triliun per tahun dari 650 juta ton per tahun dengan harga 240 dolar untuk setiap ton. Dampak negatif, menurutnya lebih terasa dengan adanya kerusakan lingkungan. Tak hanya itu, hasil ekspornya ditengarai disimpan para bandar batubara tersebut di luar negeri.
Di sisi lain, Indonesia menjadi sorotan dunia karena menjadi presidensi G20 yang kali ini memiliki tiga pembahasan utama yaitu recovery ekonomi, digitalisasi, dan agenda transisi energi. Salamudin berpendapat penyelenggaraan di Bali akan membuat dorongan utama dari negara internasional ke Indoensia adalah transisi energi. Terlebih Indonesia secara khusus telah diberikan predikat Climate superpower oleh Inggris sehingga menjadi tumpuan dunia untuk persoalan kerusakan lingkungan dan transisi energi.
“Karena Indonesia sangat beragam sumbernya energi terbarukan, termasuk surya,” kata Salamudin.
Dirinya mengingatkan, di masa mendatang negara manapun tak dapat menolak transisi energi di tengah rencana penghapusan energi fosil dan dorongan menuju net zero emisi melalui elektrisasi. Di tahun 2023 ucapnya, bank-bank dunia tidak akan memberikan peminjaman untuk aktivitas energo fosil.
Menurut Salamudin setidaknya dua hal yang harus dilakukan PLN untuk mempercepat transisi energi. Langkah pertama yaitu menggeser konsep take or pay menjadi take and pay untuk energi fosil dari pembangkit swasta. Sementara konsep take or pay diterapkan untuk produksi energi terbarukan, termasuk PLTS Atap.
“Batubara sudah sangat membahayakan masa depan lingkungan. Pemulihan hutan harus dilakukan terutama akibat tambang-tambang sehingga harus dilakukan reforestasi. Yang kedua, ada peraturan serius untuk bauran energi di PLN,” bebernya.
Kredibilitas Pemerintah Terancam
Sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menyampaikan pembangkangan yang dilakukan PLN dapat mengakibatkan pemerintah kehilangan kredibilitas di mata publik. Secara politik ujarnya, berpengaruh pada kepercayaan masyarakat terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
“Menteri ESDM kan dari PDIP. Sikap mbalelo PLN ini bisa diartikan ingin menjatuhkan kredibiltas Menteri ESDM, artinya mendiskreditkan kredibiltas PDIP juga,” Fabby berpendapat.
“Presidennya juga ‘petugas partai’ jadi kalau program strategis Presiden dilecehkan, artinya Presiden akan kehilangan wibawa. Saya menilai Dirut PLN tidak menjaga marwah pemerintah Jokowi,” sambungnya. (*)