Secara ekonomi politik, peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) ini memandang pengusaha batubara masih menguasai jantung ekonomi di Indonesia. Bandar batubara disebutnya menjadi penopang kekuasaan saat ini. Semetara publik terus dibuai dengan pemahaman melimpahnya batubara sehingga tidak perlu menggunakan energi matahari.
“Itu tidak benar, eksploitasi batubara merusak alam. Bila pemerintah tidak bisa menggeser, maka bauran energi Indonesia itu akan gagal ketika datang (bauran energi) ke PLN, dihalangi dari atas. Dari atas tidak dijalankan dengan serius,” ucapnya.
“Apakah PLN membangkang? Pasti tekanan dari atas. Kalau menteri BUMN sudah perintahkan, pasti tidak akan berani. Kemudian di atas, bila bandar-bandar tidak punya pengaruh ke kekuasaan pasti akan dijalankan.
Saatnya Transisi Energi Dimulai
Lebih jauh Salamudin menekankan, pemanfaatan batubara sebagai energi primer tidak memberikan manfaat lebih kepada rakyat. Dari sektor pemasukan negara terhadap batubara misalnya, disebut Salamudin tidak sampai 10 triliun per tahun dari 650 juta ton per tahun dengan harga 240 dolar untuk setiap ton. Dampak negatif, menurutnya lebih terasa dengan adanya kerusakan lingkungan. Tak hanya itu, hasil ekspornya ditengarai disimpan para bandar batubara tersebut di luar negeri.