IPOL.ID – Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersikap tegas terhadap intoleransi di Tanah Air, termasuk terhadap Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko.
Seperti diketahui, sang Rektor ITK mengunggah tulisan yang dinilai intoleran. Dia anti-terhadap kalimat dalam ajaran Islam seperti insya Allah, barakallah, dan qadarullah.
Kemendikbudristek berencana mengevaluasi dan berencana mencopot Budi Santosa dari posisi sebagai reviewer program LPDP. Budi diduga melanggar kode etik dan pakta integritas sebagai reviewer LPDP. Sedangkan ITK ialah salah satu perguruan tinggi negeri milik pemerintah yang ada di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI, KH Cholil Nafis, menilai respons pemerintah terhadap Budi Santosa Purwokartiko sudah baik. Namun ganjaran yang diberikan belum cukup untuk menghentikan rasisme yang belakangan terus naik.
Melalui akun Twitter pribadinya, KH Cholil Nafis meminta pemerintah mengambil tindakan lebih tegas dengan memecat Budi Santosa sebagai Rektor ITK.
”Terima kasih @kemenpendidikan tlh Memecatnya sbg reviewer LPDP, tapi lebih memberi aspek jera dan antisipasi kaum rasis di Indonesia baiknya sekalian diberhentikan dari jabatan rektor @universitastik. Jangan beri lewat orang yg rasis, apalg kaum terdidik,” cuit Choil Nafis, dikutip ipol.id, Jumat (5/5).
Cuitan keras ini disampaikan Cholil Nafis sebagai respons terhadap pernyataan Budi Santosa dalam tulisannya yang menunjukkan sikap anti terhadap mahasiswa yang mengucapkan kalimat dalam ajaran Islam.
Berikut ini tulisan Budi Santosa yang dituding banyak pihak rasis:
“Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3,5. Bahkan beberapa 3,8 dan 3,9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8,5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen. Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi; apa cita-citanya, minatnya, usaha2 untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dsb. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: inshaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb. Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi2 di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan, dari 16 yang saya wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada 2 tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar2 openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara2 maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita karya teknologi.“