Namun berkat dorongan petuah sang Ibu, ia tak pernah patah arang. Justru keterbatasan itu ia jadikan pemacu semangat, pelecut tekad, untuk terus bersekolah setinggi-tingginya.
“Berat dan perih memang. Di kala teman SD berangkat diantar orang tua atau saudaranya dengan sepeda, saya berjalan kaki “nyeker” (tanpa alas) pergi dan pulang sejauh 16 km setiap hari,” tuturnya.
Firli terpaksa lakukan itu karena tak mampu beli sandal apalagi sepatu. Saking melaratnya, ia bahkan terpaksa membayar SPP dengan cara barter buah kelapa atau durian. “Alhamdulillah kepala sekolah menerima,” ujarnya.
Begitu pula masa SMP dan SMA. Hari-hari ia lalui dengan kerja keras demi menyonsong harapan di masa depan.
“Masa SMA, saya ikut kakak mengontrak di dekat SMA 3 Palembang, dan saya ingat betul setiap pulang sekolah, bersama kakak kami mencari ikan di rawa untuk ditukar dengan pisang serta beras ketan,” tandas Firli.
Beras dan ketan lantas dibuat pepes ketan, dan Firli bertugas menjualnya ke warung atau berkeliling dari kampung ke kampung. Tentu saja hasil usaha tersebut belum mencukupi keperluan sekolah Firli. Karenanya, ia juga bekerja sampingan sebagai pembantu rumah tangga, tukang cuci mobil, juga menjual spidol di Taman Ria Palembang.